Senin, 05 November 2018

Siapa Aku?

Hasil gambar untuk who am i
link gambar
https://cdn.psychologytoday.com/sites/default/files/styles/article-inline-half-caption/public/field_blog_entry_images/2018-07/who_am_i.jpeg?itok=r0dpnt0k
Siapa aku? Apakah aku adalah diriku? Atau justru aku bukan hanya mengenai persoalan diriku? Lantas siapa dan apa yang terdapat di dalam aku? Dan kalau memang benar, lantas bagaimana diriku bisa membuktikannya? Bagaimana diriku bisa melihatnya? Dan apakah mungkin diriku bisa melihatnya? Atau justru diriku hanya berpotensi mampu merasakannya, layaknya rasa sakit yang dapat diriku rasakan dalam realitas indrawi? Lantas sebenarnya siapa itu aku? Apakah aku adalah manusia? Atau aku adalah benda mati? Atau aku adalah semesta ini? Atau justru aku adalah Sang Pencipta itu? Aduh semakin membingungkan saja, lantas apakah diriku layak untuk mempertanyakan itu?
            Manusia memang selalu dihadapkan dengan munculnya bentuk pertanyaan yang tidak dapat diabaikan, dan yang lebih menyebalkannya lagi, manusia tidak pernah sama sekali ingin memunculkan pertanyaan semacam itu di dalam dirinya, sehingga manusia berusaha untuk menghindarinya, namun mustahil. Hal itu tidak lain dan tidak bukan membuktikan bahwa pertanyaan mempunyai kekuatan yang tidak kalah mumpuni dari sebuah dogma. Manusia tidak pernah diberi hak oleh Sang Pencipta untuk menolak munculnya sebuah pertanyaan di dalam dirinya. Manusia hanya diberikan hak oleh Sang Pencipta untuk menolak menjawab sebuah pertanyaan. Apakah itu adil? Manusia tidak berhak menilainya karena definisi dari adil merupakan ciptaan Sang Pencipta, bukan ciptaan setiap insan. Keadilan bersifat suci tidak dapat diganggu gugat, yang dapat dilakukan manusia hanyalah sebuah utopis semata.
            Tanpa kita sadari bahwa “Aku” ternyata tidak hanya sekedar diriku. “Aku” mempunyai definisi yang sangat luas, bahkan lebih luas dibandingkan dengan luasnya semesta ini, dan bahkan “Aku” juga merupakan hal-hal ghaib yang sangat sulit dibuktikan melalui kekuatan indrawi. “Aku” adalah semua hal yang ada di dalam semesta ini, baik benda mati maupun benda hidup. Dan tanpa kita sadari bahwa “Aku” pun adalah Sang Pencipta. Pada hakikatnya manusia mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan makhluk hidup lain. Ciri khas manusia adalah akal. Akal pun pada dasarnya diberikan wewenang untuk bekerja. Bekerjanya akal ditandai dengan munculnya sesuatu yang disebut dengan ide.
Di bumi ini terdapat banyak jenis pohon yang sulit dihitung jumlahnya secara kuantitatif, dan masing-masing dari pohon itu mempunyai bentuk yang berbeda-beda, dan bahkan dalam pohon yang sejenis pun masing-masing mempunyai bentuk yang berbeda-beda. Namun mengapa manusia menganggap itu semua adalah pohon? Mengapa manusia menggolongkan pohon durian dan pohon mangga sebagai makhluk hidup yang sama-sama disebut dengan pohon? Padahal keduanya mempunyai bentuk yang berbeda, dan bahkan mempunyai substansi yang berbeda, yakni yang satu menghasilkan buah durian dan yang satu menghasilkan buah mangga. Mengapa manusia menganggap itu semua adalah pohon? Padahal kenyataannya masing-masing terlihat berbeda. Apakah dengan tidak menghasilkan buah dapat dijadikan indikator bahwa itu tidak dapat lagi disebut dengan pohon? Atau apakah dengan rontoknya semua daun mengindikatorkan bahwa itu sudah tidak dapat lagi disebut pohon? Manusia pasti menolak indikator-indikator itu. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya manusia sudah mempunyai bentuk ideal dari sebuah pohon yang telah tersimpan di dalam akalnya, namun permasalahannya adalah manusia sukar untuk mengucapkannya. Hal ini membuktikan bahwa pohon pun mampu tersimpan di dalam diri manusia, apapun jenisnya asalkan sesuai dengan bentuk ideal yang telah tersimpan didalam manusia. Pohon merupakan salah satu contoh dari banyaknya makhluk hidup di semesta ini, artinya adalah makhluk hidup pun mampu tersimpan di dalam diri manusia asalkan sesuai dengan bentuk ideal yang tersimpan di akalnya.
            Diatas bumi ini telah dibangun rumah-rumah yang digunakan untuk tempat tinggal manusia, yang mana bentuk dari rumah-rumah itu masing-masing berbeda, ada yang bentuknya satu lantai dan ada pula yang terdiri dari beberapa lantai. Bahkan masing-masing dari rumah tersebut mempunyai substansi yang berbeda-beda, ada yang dibuat dengan batu-bata, ada pula yang dibangun dengan material lain seperti kayu. Lantas mengapa manusia menganggap itu semua adalah sesuatu yang disebut dengan rumah? Padahal kenyataannya masing-masing terlihat berbeda satu sama lain. Apakah dengan hanya terdiri dari satu lantai dapat dijadikan indikator bahwa itu bukan lagi sebuah rumah? Apakah dengan dibuat dengan menggunakan kayu dapat dijadikan indikator bahwa itu bukan lagi sebuah rumah? Manusia tentunya akan menolak hal yang demikian. Hal itu dikarenakan sejatinya manusia mempunyai bentuk ideal dari rumah yang tersimpan di dalam akalnya, yang menjadikan terjadinya penolakan terhadap indikator-indikator tersebut. Hal ini membuktikan bahwa rumah mampu tersimpan di dalam diri manusia bahkan diantara banyaknya jumlah rumah yang berdiri di bumi. Rumah merupakan salah satu contoh dari benda mati, artinya benda mati pun mampu tersimpan di dalam diri manusia asalkan sesuai dengan bentuk ideal yang tersimpan di akalnya.
            Selain dua hal diatas, tanpa kita sadari bahwasanya Tuhan pun ada di dalam diri manusia. Tuhan ada di dalam diri manusia dalam bentuk jiwa kosmik. Manusia kerap tidak sadar bahwa manusia sejatinya menyatu dengan Tuhan seperti setitik air kehilangan dirinya ketika menyatu dengan samudera.  Seringkali manusia mempertanyakan “Siapa itu Tuhan?” sehingga banyak manusia yang sengaja berkelana dalam akalnya untuk mencari keberadaan Tuhan. Padahal dengan mempertanyakan demikian artinya manusia sudah mampu mengidentifikasikan Tuhan di dalam akalnya yang menandakan manusia sudah mampu membentuk konstruksi ideal mengenai tuhan sehingga tersimpanlah tuhan di dalam diri manusia. Hanya saja itu merupakan hal tersulit untuk diucapkan, sehingga manusia memilih untuk mencari-Nya kesana-kemari, padahal Dia ada di dalam diri manusia, hanya saja manusia tidak menyadari-Nya. Maka hal terbaik yang dapat dilakukan adalah manusia harus mampu mengenali diri mereka sendiri karena dengan mengenali diri sendiri maka secara otomatis manusia akan dapat mengetahui Tuhan.
            Dengan demikian dapat diketahui bahwa di dalam diri manusia terkandung hal-hal yang tidak dapat kita duga sebelumnya. Hal itu dapat membuktikan bahwasanya “Aku” bukan hanya sekadar diriku, tetapi “Aku” adalah alam raya, “Aku” adalah sesuatu yang ghaib, “Aku” adalah semesta dan seisinya, dan bahkan “Aku” adalah Tuhan. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa jika manusia merusak alam artinya mereka merusak diri mereka sendiri, jika manusia menyakiti makhluk hidup lain artinya mereka menyakiti diri mereka sendiri, dan jika manusia membantah perintah Tuhan artinya mereka membantah eksistensi mereka sendiri. Hati-hati dengan itu!!!!!!

Penulis : Muhammad Hanif Yasyfi

0 komentar:

Posting Komentar