link gambar https://cdn.psychologytoday.com/sites/default/files/styles/article-inline-half-caption/public/field_blog_entry_images/2018-07/who_am_i.jpeg?itok=r0dpnt0k |
Siapa aku? Apakah aku
adalah diriku? Atau justru aku bukan hanya mengenai persoalan diriku? Lantas
siapa dan apa yang terdapat di
dalam aku? Dan kalau memang benar, lantas bagaimana diriku bisa
membuktikannya? Bagaimana diriku bisa melihatnya? Dan apakah mungkin diriku
bisa melihatnya? Atau justru diriku hanya berpotensi mampu merasakannya,
layaknya rasa sakit yang dapat diriku rasakan dalam realitas indrawi? Lantas
sebenarnya siapa itu aku? Apakah aku adalah manusia? Atau aku adalah benda mati?
Atau aku adalah semesta ini? Atau justru aku adalah Sang Pencipta itu? Aduh
semakin membingungkan saja, lantas apakah diriku layak untuk mempertanyakan itu?
Manusia memang selalu dihadapkan dengan munculnya bentuk
pertanyaan yang tidak dapat diabaikan, dan yang lebih menyebalkannya lagi,
manusia tidak pernah sama sekali ingin memunculkan pertanyaan semacam itu di
dalam dirinya, sehingga manusia berusaha untuk menghindarinya, namun mustahil.
Hal itu tidak lain dan tidak bukan membuktikan bahwa pertanyaan mempunyai
kekuatan yang tidak kalah mumpuni dari sebuah dogma. Manusia tidak pernah
diberi hak oleh Sang Pencipta untuk menolak munculnya sebuah pertanyaan di
dalam dirinya. Manusia hanya diberikan hak oleh Sang Pencipta untuk menolak
menjawab sebuah pertanyaan. Apakah itu adil? Manusia tidak berhak menilainya
karena definisi dari adil merupakan ciptaan Sang Pencipta, bukan ciptaan setiap
insan. Keadilan bersifat suci tidak dapat diganggu gugat, yang dapat dilakukan
manusia hanyalah sebuah utopis semata.
Tanpa kita sadari bahwa “Aku” ternyata tidak hanya
sekedar diriku. “Aku” mempunyai definisi yang sangat luas, bahkan lebih luas
dibandingkan dengan luasnya semesta ini, dan bahkan “Aku” juga merupakan
hal-hal ghaib yang sangat sulit dibuktikan melalui kekuatan indrawi. “Aku”
adalah semua hal yang ada di dalam semesta ini, baik benda mati maupun benda
hidup. Dan tanpa kita sadari bahwa “Aku” pun adalah Sang Pencipta. Pada
hakikatnya manusia mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan makhluk hidup
lain. Ciri khas manusia adalah akal. Akal pun pada dasarnya diberikan wewenang
untuk bekerja. Bekerjanya akal ditandai dengan munculnya sesuatu yang disebut
dengan ide.
Di
bumi ini terdapat banyak jenis pohon yang sulit dihitung jumlahnya secara
kuantitatif, dan masing-masing dari pohon itu mempunyai bentuk yang
berbeda-beda, dan bahkan dalam pohon yang sejenis pun masing-masing mempunyai
bentuk yang berbeda-beda. Namun mengapa manusia menganggap itu semua adalah
pohon? Mengapa manusia menggolongkan pohon durian dan pohon mangga sebagai
makhluk hidup yang sama-sama disebut dengan pohon? Padahal keduanya mempunyai
bentuk yang berbeda, dan bahkan mempunyai substansi yang berbeda, yakni yang
satu menghasilkan buah durian dan yang satu menghasilkan buah mangga. Mengapa manusia
menganggap itu semua adalah pohon? Padahal kenyataannya masing-masing terlihat
berbeda. Apakah dengan tidak menghasilkan buah dapat dijadikan indikator bahwa
itu tidak dapat lagi disebut dengan pohon? Atau apakah dengan rontoknya semua
daun mengindikatorkan bahwa itu sudah tidak dapat lagi disebut pohon? Manusia
pasti menolak indikator-indikator itu. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya
manusia sudah mempunyai bentuk ideal dari sebuah pohon yang telah tersimpan di
dalam akalnya, namun permasalahannya adalah manusia sukar untuk mengucapkannya.
Hal ini membuktikan bahwa pohon pun mampu tersimpan di dalam diri manusia,
apapun jenisnya asalkan sesuai dengan bentuk ideal yang telah tersimpan didalam
manusia. Pohon merupakan salah satu contoh dari banyaknya makhluk hidup di
semesta ini, artinya adalah makhluk hidup pun mampu tersimpan di dalam diri
manusia asalkan sesuai dengan bentuk ideal yang tersimpan di akalnya.
Diatas bumi ini telah dibangun rumah-rumah yang digunakan
untuk tempat tinggal manusia, yang mana bentuk dari rumah-rumah itu
masing-masing berbeda, ada yang bentuknya satu lantai dan ada pula yang terdiri
dari beberapa lantai. Bahkan masing-masing dari rumah tersebut mempunyai
substansi yang berbeda-beda, ada yang dibuat dengan batu-bata, ada pula yang
dibangun dengan material lain seperti kayu. Lantas mengapa manusia menganggap
itu semua adalah sesuatu yang disebut dengan rumah? Padahal kenyataannya
masing-masing terlihat berbeda satu sama lain. Apakah dengan hanya terdiri dari
satu lantai dapat dijadikan indikator bahwa itu bukan lagi sebuah rumah? Apakah
dengan dibuat dengan menggunakan kayu dapat dijadikan indikator bahwa itu bukan
lagi sebuah rumah? Manusia tentunya akan menolak hal yang demikian. Hal itu
dikarenakan sejatinya manusia mempunyai bentuk ideal dari rumah yang tersimpan
di dalam akalnya, yang menjadikan terjadinya penolakan terhadap
indikator-indikator tersebut. Hal ini membuktikan bahwa rumah mampu tersimpan
di dalam diri manusia bahkan diantara banyaknya jumlah rumah yang berdiri di
bumi. Rumah merupakan salah satu contoh dari benda mati, artinya benda mati pun
mampu tersimpan di dalam diri manusia asalkan sesuai dengan bentuk ideal yang
tersimpan di akalnya.
Selain dua hal diatas, tanpa kita sadari bahwasanya Tuhan
pun ada di dalam diri manusia. Tuhan ada di dalam diri manusia dalam bentuk
jiwa kosmik. Manusia kerap tidak sadar bahwa manusia sejatinya menyatu dengan
Tuhan seperti setitik air kehilangan dirinya ketika menyatu dengan
samudera. Seringkali manusia
mempertanyakan “Siapa itu Tuhan?” sehingga banyak manusia yang sengaja
berkelana dalam akalnya untuk mencari keberadaan Tuhan. Padahal dengan
mempertanyakan demikian artinya manusia sudah mampu mengidentifikasikan Tuhan
di dalam akalnya yang menandakan manusia sudah mampu membentuk konstruksi ideal
mengenai tuhan sehingga tersimpanlah tuhan di dalam diri manusia. Hanya saja
itu merupakan hal tersulit untuk diucapkan, sehingga manusia memilih untuk
mencari-Nya kesana-kemari, padahal Dia ada di dalam diri manusia, hanya saja
manusia tidak menyadari-Nya. Maka hal terbaik yang dapat dilakukan adalah
manusia harus mampu mengenali diri mereka sendiri karena dengan mengenali diri
sendiri maka secara otomatis manusia akan dapat mengetahui Tuhan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di dalam diri
manusia terkandung hal-hal yang tidak dapat kita duga sebelumnya. Hal itu dapat
membuktikan bahwasanya “Aku” bukan hanya sekadar diriku, tetapi “Aku” adalah
alam raya, “Aku” adalah sesuatu yang ghaib, “Aku” adalah semesta dan seisinya, dan
bahkan “Aku” adalah Tuhan. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa jika manusia
merusak alam artinya mereka merusak diri mereka sendiri, jika manusia menyakiti
makhluk hidup lain artinya mereka menyakiti diri mereka sendiri, dan jika
manusia membantah perintah Tuhan artinya mereka membantah eksistensi mereka
sendiri. Hati-hati dengan itu!!!!!!
Penulis : Muhammad Hanif Yasyfi
0 komentar:
Posting Komentar