Sumber gambar : http://beritaindoupdate.blogspot.com |
Oleh
: Muhamad Hanif Yasyfi
Allah
SWT telah berfirman di dalam Al-Quran dalam Q.S At-Tin ayat 4 yang berbunyi :
”Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Manusia memang telah diciptakan
dalam bentuk yang sebaik-baiknya, namun yang terjadi dan terus menjadi sumber
permasalahan yakni rasa syukur yang tak nampak kemunculannya dalam diri manusia
sebagai makhluk yang telah dijamin oleh Tuhan sebagai makhluk yang diciptakan
dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Mengenal dirinya sendiri merupakan
satu-satunya jalan yang dapat ditempuh oleh manusia agar dapat mensyukuri
eksistensinya sebagai manusia. Namun yang terjadi adalah manusia terlena akibat
kesenangan indrawinya yang menyebabkan formula untuk membuat manusia mengenal
dirinya menjadi kabur dan asing. Keasingan inilah yang di era teknologi serba
berkemajuan ini membuat manusia tabu untuk menggunakan formula tersebut,
sehingga muncul anggapan bahwa jangankan untuk menggunakan formula tersebut,
menyentuhnya pun dianggap sebagai suatu perbuatan yang sia-sia bahkan berdosa.
Keadaan inilah yang dalam realitas sosial memang nyata adanya.
Manusia
dikatakan merupakan makhluk dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Bentuk yang
sebaik-baiknya menandakan bahwa manusia mempunyai ciri khas tertentu yang
membedakan antara dirinya dengan binatang atau tumbuhan sehingga dapat
dikatakan dirinya lebih baik dari makhluk lainnya. Namun yang menjadi
permasalahan adalah anggapan tabu formula manusia mengenal dirinya menyebabkan
manusia tidak sadar akan ciri khasnya. Sehingga pada akhirnya Aristoteles mampu
mengingatkan manusia akan ciri khasnya yaitu “Akal”. Akal lah yang membedakan
antara manusia sebagai makhluk Tuhan dalam bentuk yang sebaik-baiknya dengan
makhluk hidup lainnya. Aristoteles bahkan menyebut manusia sebagai “Zoon
Politicon” atau dapat diistilahkan sebagai “binatang yang berpolitik”.
Dikatakan binatang dikarenakan manusia mempunyai ciri yang tidak berbeda dengan
binatang. Ciri tersebut yakni antara manusia dengan binatang mempunyai hasrat
atau nafsu yang dapat disimbolkan melalui perut mereka. Sementara itu dikatakan
dapat berpolitik dikarenakan manusia dianugerahkan Tuhan sebuah akal yang mampu
menghasilkan esensinya yaitu ide. Dalam hal ini dapat dibedakan antara
pemisahan istilah keduanya, namun yang terjadi adalah kekeliruan yang mendasar
yang menganggap bahwa politik adalah hanyalah
persoalan hawa nafsu, padahal menurut aristoteles tidak demikian, justru
akal yang dikedepankan. Kekeliruan tersebut menyebabkan kondisi perpolitikan di
bumi pertiwi cukup memprihatinkan. Orang-orang berbondong-bondong menciptakan
kondisi perpolitikan yang hanya didasarkan hasratnya, sehingga politik akal
sehat sukar untuk terjadi di bumi pertiwi.
Manusia
dalam konsep Al-Quran menggunakan konsep yang penuh dengan filosofis. Seperti
halnya dalam proses kejadian Adam yang mana menggunakan bahasa metaforis
filosofis yang penuh makna dan simbol. Kejadian manusia di dalam Al-Quran dapat
diredusir sebagai makhluk yang terdiri dari “Ruh Tuhan dan Lempung Busuk”. Ruh
Tuhan dan lempung busuk hanya merupakan dua simbol individu karena secara
aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun). Lempung
busuk merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak, sedangkan Ruh
Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan
tak terbatas. Manusia diberikan hak untuk berkehendak bebas dan
bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua jalur yang berlawanan,
yakni antara Allah dan syaitan atau antara Ruh Tuhan dan Lempung Busuk.
Gabungan tersebut menyebabkan manusia bersifat dialektis. Disebut dialektis
dikarenakan manusia mampu berpikir dengan akalnya untuk menentukan kehendak
bebas yang diambilnya dan bertanggungjawab. Sehingga pada akhirnya menurut ‘Ali
Syariati yang disebut dengan manusia ideal adalah manusia yang telah
mendialektikakan Ruh Tuhan dengan Lempung Busuk yang pada hasil akhirnya adalah
mereka mampu menentukan bahwa yang dominan di dalam dirinya adalah Ruh Tuhan.
Dalam
realitas sosial, nyatanya kerap kali kita jumpai manusia yang tidak dapat
memahami dirinya sebagai makhluk yang mempunyai akal. ketidaksadaran ini
merupakan bentuk ketidakbersyukuran manusia terhadap Tuhan yang telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Ketidaksadaran tersebut
pun yang menyebabkan munculnya perilaku yang tidak dapat kita bedakan bahwa
perilaku tersebut pun merupakan perilaku binatang, karena semata-mata
didasarkan atas hasrat manusia yakni berkuasa bukan atas akal sehat mereka.
Kemenangan hasrat ini menunjukkan pula kemenangan lempung busuk atas ruh Tuhan
yang telah melalui tahap dialektika oleh manusia. Kedominanan lempung busuk
manusia inilah yang menyebabkan sumber permasalahan di era berkemajuan ini.
Manusia lebih senang dianggap sebagai “zoon” dibandingkan dianggap sebagai
“Zoon Politicon”. Miris adanya ketika eksistensi manusia di dunia sekarang tidak lagi berbeda dengan eksistensi
binatang yang hidup di dunia. Menyadarkan manusia akan hal tersebut sangat
penting untuk mengembalikan hakikat dari eksistensi manusia di dunia.
0 komentar:
Posting Komentar