Jumat, 19 Oktober 2018

Rupanya Aku Atheis

Hasil gambar untuk atheis
Sumber gambar : http://cdn.idntimes.com/content-images/post/old/88917-Filsafat7_blogspotcom.jpg
            Di era globalisasi manusia dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang amat kompleks. Permasalahan ini timbul karena tuntutan yang mengharuskan manusia berbuat demikian agar tidak tersalip oleh peradaban. Amat menjadi permasalahan ketika rupanya kita menyadari bahwa peradaban yang sedang berkembang adalah bukan datangnya dari bumi pertiwi, dan bukan pula merupakan dampak langsung dari ajaran tuhan. Kita sibuk mengejar apa yang disebut tuntutan zaman demi memiliki notabene “Si era milenial”. Lebih miris adanya ketika ternyata untuk berlari mengejar peradaban itu secara tidak langsung kita dijauhkan dari hal yang bersifat keakhiratan, kita amat diusahakan agar mempunyai perspektif yang tidak berimbang, yaitu duniawi lebih penting. Manusia amat terlena akibat hal itu, dan itu menjadikan banyak problem baik secara pribadi manusia maupun permasalahan kolektif. Ketidakseimbangan perspektif itu yang rupanya belum banyak disadari oleh umat manusia.
            Sangat miris ketika milenial yang dimaksud oleh umat manusia hanya ditujukan untuk hal-hal yang bersifat keduniawian, sehingga muncul kritik “Lalu apakah melaksanakan dan mempertahankan ajaran agama tidak bisa disebut sebagai upaya untuk mencapai gelar si era milenial?”. Perspektif manusia sudah mulai bergeser, sangat sulit menemukan siapa pelaku yang mampu menggeser perspektif umat manusia sehingga menjadi demikian, dan sangat sulit pula memperbaiki perspektif ini dengan seketika di era ini. Tanpa kita sadari bahwa sejatinya kutub akhirat terletak di dalam kutub dunia, dan untuk mencapai akhirat konsekwensinya adalah terlebih dahulu kita harus melewati dunia. Dunia memanglah penting, namun perlu diketahui bahwa pentingnya dunia timbul karena dunia adalah satu-satunya cara untuk mencapai akhirat. Untuk mencapai akhirat yang baik maka diperlukan juga dunia yang baik. Hal tersebut yang seharusnya yang dijadikan pegangan untuk berifikir umat manusia sehingga tidak terlena akan tuntutan zaman.
            Keterlenaan umat manusia menyebabkan prosesi-prosesi ibadah yang dilakukan manusia menjadi terkikis. Inilah masa dimana atheisme praktis melekat pada umat manusia. Ibadah-ibadah yang umat manusia lakukan hanya ditujukan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai manusia, bukan sebagai hamba tuhan. Dan yang lebih parahnya ketika prosesi ibadah itu berlangsung, tuhan tidak dilibatkan di dalamnya. Orang melaksanakan shalat akan tetapi dia tidak melibatkan tuhan didalam shalatnya. Orang bekerja akan tetapi dia tidak melibatkan tuhan didalamnya, bekerja hanya ditujukan untuk memenuhi hasrat duniawi. Orang belajar akan tetapi dia tidak melibatkan tuhan di dalamnya, belajar hanya ditujukan agar dia menjadi pintar atau bahkan hanya untuk memenuhi standar nilai. Pola pemikiran yang demikian merupakan pola pikir yang terjadi akibat keterlenaan. Pola pikir tersebut sudah tidak seharusnya digunakan. Tuhan sudah sepatutnya dilibatkan dalam apa saja yang dilakukan oleh umat manusia. Karena jika tidak demikian, maka dalam diri kita terlekat atheisme praktis tanpa kita sadari. Hakikat dari atheisme adalah tidak melibatkan tuhan di dalam kehidupan manusia. Dengan demikian tanpa kita sadari bahwa ketika kita tidak melibatkan tuhan dalam kehidupan sehari-hari maka kita termasuk atheis, walaupun memang sifatnya praktis namun telah menyentuh hakikat yang sama dengan atheisme.
            Lantas, bagaimana seharusnya manusia berpikir dan bertindak? Satu-satunya cara yang dapat ditempuh oleh umat manusia adalah dengan menganggap bahwa tuhan selalu hadir di dalam proses keduniawian. Apapun yang umat manusia lakukan harus melibatkan tuhan di dalamnya. Manusia harus menganggap bahwasanya ketika dia berproses di dalam dunia, tuhan selalu menampakkan diri di dalam jiwanya. Manusia harus percaya bahwa teofani itu pasti ada dan muncul kepada jiwa manusia sehingga mampu membuat jiwa manusia bergetar hebat dan manusia mampu menyadari bahwa apa yang dilakukannya semata-mata pada hakikatnya berujung pada sebuah ibadah. Yang harus manusia capai di era milenial adalah menciptakan keseimbangan perspektif antara dunia dan akhirat sehingga tidak terjadi keterlenaan dan secara otomatis atheisme praktis akan terkikis.
            Melibatkan tuhan dalam proses duniawi merupakan konsekwensi kita sebagai hambanya. Kita tidak dapat menganggap bahwa dunia adalah satu tempat yang mampu berdiri sendiri karena pada kenyataannya tuhan menciptakan secara oposisi biner bersamaan dengan keakhiratan. Untuk itu sudah sepatutnya manusia menyadari demikian sehingga kita dapat mencapai dan mendapat notabene “Si era milenial” dengan tetap melibatkan tuhan didalamnya. 
Penulis : Muhammad Hanif Yasyfi

0 komentar:

Posting Komentar