Sumber gambar : http://cdn.idntimes.com/content-images/post/old/88917-Filsafat7_blogspotcom.jpg |
Di era globalisasi manusia dihadapkan dengan berbagai
permasalahan yang amat kompleks. Permasalahan ini timbul karena tuntutan yang
mengharuskan manusia berbuat demikian agar tidak tersalip oleh peradaban. Amat
menjadi permasalahan ketika rupanya kita menyadari bahwa peradaban yang sedang
berkembang adalah bukan datangnya dari bumi pertiwi, dan bukan pula merupakan
dampak langsung dari ajaran tuhan. Kita sibuk mengejar apa yang disebut
tuntutan zaman demi memiliki notabene “Si era milenial”. Lebih miris adanya
ketika ternyata untuk berlari mengejar peradaban itu secara tidak langsung kita
dijauhkan dari hal yang bersifat keakhiratan, kita amat diusahakan agar
mempunyai perspektif yang tidak berimbang, yaitu duniawi lebih penting. Manusia
amat terlena akibat hal itu, dan itu menjadikan banyak problem baik secara
pribadi manusia maupun permasalahan kolektif. Ketidakseimbangan perspektif itu
yang rupanya belum banyak disadari oleh umat manusia.
Sangat miris ketika milenial yang dimaksud oleh umat
manusia hanya ditujukan untuk hal-hal yang bersifat keduniawian, sehingga
muncul kritik “Lalu apakah melaksanakan dan mempertahankan ajaran agama tidak
bisa disebut sebagai upaya untuk mencapai gelar si era milenial?”. Perspektif
manusia sudah mulai bergeser, sangat sulit menemukan siapa pelaku yang mampu
menggeser perspektif umat manusia sehingga menjadi demikian, dan sangat sulit
pula memperbaiki perspektif ini dengan seketika di era ini. Tanpa kita sadari
bahwa sejatinya kutub akhirat terletak di dalam kutub dunia, dan untuk mencapai
akhirat konsekwensinya adalah terlebih dahulu kita harus melewati dunia. Dunia memanglah
penting, namun perlu diketahui bahwa pentingnya dunia timbul karena dunia
adalah satu-satunya cara untuk mencapai akhirat. Untuk mencapai akhirat yang
baik maka diperlukan juga dunia yang baik. Hal tersebut yang seharusnya yang
dijadikan pegangan untuk berifikir umat manusia sehingga tidak terlena akan
tuntutan zaman.
Keterlenaan umat manusia menyebabkan prosesi-prosesi
ibadah yang dilakukan manusia menjadi terkikis. Inilah masa dimana atheisme
praktis melekat pada umat manusia. Ibadah-ibadah yang umat manusia lakukan
hanya ditujukan untuk melaksanakan kewajibannya sebagai manusia, bukan sebagai
hamba tuhan. Dan yang lebih parahnya ketika prosesi ibadah itu berlangsung,
tuhan tidak dilibatkan di dalamnya. Orang melaksanakan shalat akan tetapi dia tidak
melibatkan tuhan didalam shalatnya. Orang bekerja akan tetapi dia tidak
melibatkan tuhan didalamnya, bekerja hanya ditujukan untuk memenuhi hasrat
duniawi. Orang belajar akan tetapi dia tidak melibatkan tuhan di dalamnya, belajar
hanya ditujukan agar dia menjadi pintar atau bahkan hanya untuk memenuhi
standar nilai. Pola pemikiran yang demikian merupakan pola pikir yang terjadi
akibat keterlenaan. Pola pikir tersebut sudah tidak seharusnya digunakan. Tuhan
sudah sepatutnya dilibatkan dalam apa saja yang dilakukan oleh umat manusia.
Karena jika tidak demikian, maka dalam diri kita terlekat atheisme praktis
tanpa kita sadari. Hakikat dari atheisme adalah tidak melibatkan tuhan di dalam
kehidupan manusia. Dengan demikian tanpa kita sadari bahwa ketika kita tidak
melibatkan tuhan dalam kehidupan sehari-hari maka kita termasuk atheis,
walaupun memang sifatnya praktis namun telah menyentuh hakikat yang sama dengan
atheisme.
Lantas, bagaimana seharusnya manusia berpikir dan
bertindak? Satu-satunya cara yang dapat ditempuh oleh umat manusia adalah
dengan menganggap bahwa tuhan selalu hadir di dalam proses keduniawian. Apapun
yang umat manusia lakukan harus melibatkan tuhan di dalamnya. Manusia harus
menganggap bahwasanya ketika dia berproses di dalam dunia, tuhan selalu
menampakkan diri di dalam jiwanya. Manusia harus percaya bahwa teofani itu
pasti ada dan muncul kepada jiwa manusia sehingga mampu membuat jiwa manusia
bergetar hebat dan manusia mampu menyadari bahwa apa yang dilakukannya
semata-mata pada hakikatnya berujung pada sebuah ibadah. Yang harus manusia
capai di era milenial adalah menciptakan keseimbangan perspektif antara dunia
dan akhirat sehingga tidak terjadi keterlenaan dan secara otomatis atheisme
praktis akan terkikis.
Melibatkan tuhan dalam proses duniawi merupakan
konsekwensi kita sebagai hambanya. Kita tidak dapat menganggap bahwa dunia
adalah satu tempat yang mampu berdiri sendiri karena pada kenyataannya tuhan
menciptakan secara oposisi biner bersamaan dengan keakhiratan. Untuk itu sudah
sepatutnya manusia menyadari demikian sehingga kita dapat mencapai dan mendapat
notabene “Si era milenial” dengan tetap melibatkan tuhan didalamnya.
Penulis : Muhammad Hanif Yasyfi
0 komentar:
Posting Komentar