Abad
21 dikenal sebagai abad yang dipengaruhi oleh arus Globalisasi. Hal ini
ditandai dengan apa-apa yang serba terbuka, transparan, bebas dan mengglobal.
Di mana manusia hidup dalam dunia yang tanpa batas, hasil dari kemajuan ilmu
dan teknologi, tetekomunikasi
transportasi telah menjadikan dunia menjadi desa yang kecil. Walaupun
berbagai aspek positif dapat digali dalam kemajuan abad 21 tersebut, namun
aspek negatif yang akan menghadang didepan kita pun juga tidak mungkin untuk
dielakan.
John
Naisbit dan Patricia Aburdene memprediksi berbagai kecenderungan yang akan
terjadi dalam abad 21 ini, diantaranya adalah, pertama, Sistem industri yang akan beralih ke dalam sistem
masyarakat informasi, kedua sistem
perekonomian nasional akan beralih ke dalam sistem perekonomian global. Ketiga, peran negara bagian selatan akan
diambil alih oleh negara-negara bagian utara, keempat, munculnya dua kutub ekstrim yang saling berhadapan, antara
islam fundamental dan sekularisme fundamental. Kelima, perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Dalam konteks
negara tentu hal ini akan memberikan dampak –bisa baik ataupun buruk secara langsung
ataupun tidak langsung kepada negara itu sendiri, sektor swasta, maupun di
kalangan masyarakat. Maka perubahan yang terjadi akibat dari globalisasi harus
dicermati tidak hanya dengan model rasional semata, melainkan secara kritis
melihat kondisi realitas dalam suatu masyarakat, khususnya di Indonesia.
Oleh
karena itu, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) sebagai organisasi mahasiswa memiliki
tanggung jawab dan tantangan yang vital bersama organisasi mahasiswa lainnya,
yakni menjalankan fungsi mahasiswa yang menjadi salah satu pilar penyangga
kehidupan demokrasi di Indonesia. Adapun fungsi tersebut yakni agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), generasi penerus (iron stock), dan gerakan moral (moral force). Dengan upaya menjalankan
peran mahasiswa inilah yang diharapkan akan lahir sebuah tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang dapat mencapai cita-cita dan tujuan negara
Indonesia seperti yang dikemukakan dalam pembukaan dasar konstitusi kita.
Sebagai Agen Perubahan (agent
of change)
Sebagai
pengantar awal saya coba merefleksikan dari pada teori sosial kritik,
globalisasi telah memberikan dampak yang luar biasa pada bangsa indonesia. Hal
ini bisa dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan lain-lain
dengan cara bukan hanya rasional saja, melainkan juga dengan cara kritis.
Sehingga ketika melihat suatu gejala yang terjadi dalam suatu masyarakat tidak
serta merta dapat menilai dengan mudah, melainkan dengan analisis yang baik dan
dapat bertindak mengubah keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik melalui
aksi nyata.
Namun
tidak bisa dipungkiri, bahwa peran gerakan mahasiswa juga mengalami pasang
surut bak air laut yang kadang pasang, kadang surut, bahkan pasca reformasi gerakan
mahasiswa disinyalir oleh banyak kalangan mengalami “kemandulan gerakan” atau
“mati suri”. Pengamat politik, Indra J. Piliang, menyebutkan bahwa gerakan
mahasiswa hari ini belum mampu menunjukan identitasnya sebagai agen perubahan (agent of change). Bahkan yang lebih
tragisnya lagi adalah, hasil jejak pendapat Kompas
yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tanggal 1-2 Februari dengan mengangkat
tema tentang Peran Gerakan Mahasiswa yang dipublikasikan pada tanggal 6
Februari 2006, hampir 50% dari publik menyebutkan bahwa peranan gerakan
mahasiswa menyikapi kondisi bangsa semakin menurun. Dan tidak sedikit pula
publik menilai jika gerakan mahasiswa jauh lebih mundur dari pada gerakan
mahasiswa sebelum reformasi.
Beberapa
masalah muncul di tubuh gerakan mahasiswa tersebut, tidak lepas dari pergerakan
yang terjadi di tubuh mahasiswa, setidaknya jika dilihat secara objektif
terdapat beberapa aspek yang menyebabkan peran gerakan mahasiswa semakin
mundur. Pertama, Lemahnya visi dan
landasan paradigma yang dijalankan oleh gerakan mahasiswa. Hal ini menjadi
ironis karena kontinunitas gerakan mahasiswa dalam merancang visi dan landasan
paradigma tersebut, gagal di era sekarang. Buktinya, walaupun berbagai nama
gerakan mahasiswa banyak yang muncul, namun tidak memiliki kekuatan yang
integratif dan terpadu. Akhirnya tidak heran jika gerakan mahasiswa yang ada
berjalan sendiri-sendiri.
Padahal
sebagai agent of change, gerakan
mahasiswa bisa lepas dari bangunan visi kolektif dan landasan paradigma
gerakan. Sebab visi maupun paradigma gerakan tersebut merupakan unsur
terpenting dalam melakukan sebuah perubahan. Tanpa adanya visi dan paradigma
gerakan, akan berdampak terhadap cara gerakan mahasiswa dalam merespon
persoalan yang muncul.
Kedua, menyangkut tingginya budaya
pragmatisme di kalangan gerakan mahasiswa. Di tengah kuatnya arus budaya
hedonisme, posisi gerakan mahasiswa juga menjadi sasaran empuk yang sulit
mengelak dari kondisi yang ada. Tanpa menutup mata, gerakan mahasiswa saat ini
lebih cenderung untuk berbicara soal life
style ketimbang duduk bersama untuk berdiskusi atau melakukan advokasi dan
gerakan-gerakan pemberdayaan (socal
empowering).
Ketiga, semakin bergesernya
kerja-kerja intelektualisme ke arah aktivisme secara hakikat. Kerja-kerja
intelektual yang menjadi landasan bagi
sebuah gerakan, tidak lagi menjadi tradisi di kalangan gerakan
mahasiswa. Sehingga output gerakan
yang dihasilkan pun cenderung premature atau tanpa hasil yang maksimal. Apalagi
di tengah euforia politik pasca reformasi, membuat mahasiswa tidak memiliki
daya tahan dalam melawan syahwat politiknya untuk terjun ke dalam dunia politik
praktis.
Keempat, secara eksternal gerakan
juga dipengaruhi oleh kuatnya tekanan imprealisme baru terhadap rezim
pemerintahan yang berjalan, sehingga berdampak terhadap melemahnya fungsi
pemerintah sebagai aktor yang diamanahkan untuk menjalankan tujuan negara.
Dengan lemahnya fungsi pemerintah tersebut, tidak dengan sendirinya suara-suara
protes keluar dari gerakan mahasiswa mendapat respon yang positif oleh pegang
kebijakan.
Atas
berbagai problem ini, maka IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) sebagai bagian
dari elemen gerakan di tanah air, harus dengan segera keluar dari berbagi
krisis dan kemelut gerakan untuk tampil sebagai pelopor dalam mempercelat perubahan
sosial yang direncanakan.
Sebagai Kontrol Sosial (social control)
Tata
kelola yang baik adalah bagaimana terwujudnya policy network antara sektor publik (pemerintah), sektor swasta,
dan masyarakat sipil. IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) sebagai gerakan
mahasiswa adalah salah satu dari wujud masyarakat sipil yang ada di Indonesia,
sudah seharusnya memberikan kontibusi berupa jempatan antara masyarakat dengan
sektor publik (pemerintah) tentang hubungan yang memerintah dengan yang
diperintah dalam bentuk kebijakan. Maka penilaian mengenai kebijakan yang
memerintah pada suatu masyarakat dibawa oleh dari pemerintah itu sendiri,
ataupun sebaliknya menjadi pelaku sosialisi atau ulur tangan pemerintah. Dengan
fungsinya sebagai penengah tersebut, gerakan mahasiswa secara ideal bergerak
secara statis.
Meskipun
demikian, pegerakan dari gerakan mahasiswa pada umumnya lebih condong sebagai
jembatan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau feedback dari sebuah kebijakan. Hal ini cukup jelas jika memang
lebih tepat sebuah gerakan mahasiswa yang termasuk dalam bagian masyarakat
sipil berperan sebagai counter hegemony
daripada partner pemerintah. Mengutip
dari pada Acton, “kekuasaan cenderung korup, semakin absolutnya kekuasaan
membuat korup semakin absolut juga”, artinya masyarakat sipil sejatinya memang
sebagai kekuatan penyeimbang. Hegel pun dalam pemikiran post-Marxis nya mengenai masyarakat sipil pun mengatakan demikian,
yakni mampu sebagai counter hegemony
yang memiliki tujuan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Sebuah
kebijakan pemerintah tentu tidak dilahirkan secara tiba-tiba, malainkan dapat
dijelaskan melalui teori kausalitas, serta pada siklusnya. Pada siklus
kebijakan, dalam pemerintahan yang terbuka, masyarakat akan dapat selalu
memantau dari awal hingga akhir, dan disinilah peran gerakan mahasiswa. Gerakan
mahasiswa, khususnya IMM, dapat sebagai kontrol sosial dengan memperhatikan
tiap-tiap tahapan dari sebuah siklus kebijakan, dan ketika dinilainya terjadi
sesuatu yang gawat maka disitulah waktu yang tepat untuk memainkan peranannya,
memberikan feedback. Adapun siklus
kebijakan yang harus diperhatikan menurut Warner John dan Kai Wegrich sebagai
berikut:
Sehingga
pada sekarang ini yang notabenenya dalam tahap konsolidasi, IMM yang termasuk
dalam masyarakat sipil harus mampu menjalankan peranannya dalam upaya
pembentukan–pembentukan pemerintahan yang transparan dan bertanggungjawab
kepada rakyat (good governance) serta
upaya untuk memastikan bahwa demokrasi merupakan satu-satunya aturan main yang
berlaku (the only game in town).
Sebagai Generasi Penerus (iron stock)
Upaya
bentuk perkaderan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, dalam gerakan mahasiswa
belakangan ini walaupun jauh lebih sistematis dibandingkan bentuk perkaderan
yang ada pada masa tempo dulu, namun jika dilihat dari yang ada pada masa tempo
dulu, namun jika dilihat dari output maupun
outcomes yang ada, masih jauh dari capaian optimal sebagaimana hasil perkaderan
yang dilakukanpada masa awal terbentuknya gerakan ini. Walaupun secara kuantitas
kader di dalam Muhammadiyah mengalami jumlah yang cukup meningkat dalam tiap
tahunnya hingga kini berjumlah 30 juta lebih, namun jumlah tersebut belum
sebanding dengan kualitas dan sumber daya kader dalam Muhammadiyah. Sebab
sangat tampak jika proses kaderisasi yang dilakukan sangat terpaku pada aspek
substansif dalam persyarikatan Muhammadiyah.
IMM
(Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) sebagai organisasi otonom dari Muhammadiyah,
serta sebagai bagian dari masyarakat sipil harus memperhatikan sistem
perkaderan yang ada didalamnya. Hal ini dikarenakan perkaderan adalah jantung
dari sebuah organisasi yang mana akan mencerminkan organisasi itu sendiri, baik
ataupun buruk. Maka jika IMM sebagai gerakan mahasiswa sudah “mati suri” harus
mulai kembali merevitalisasi sistem perkaderan yang melihat dari berbagai
aspek.
Pertama aspek budaya, yakni mengenai
nilai-nilai dalam organisasi. Jika budaya diartikan sebagai nilai-nilai yang
dilaksanakan secara berulang dengan cara tertentu, maka budaya adalah suatu hal
yang melekat dan menjadi identitas dalam organisasi. Tentunya dalam
mentransformasikan budaya mengarah kepada yang lebih baik, maka harus dilakukan
dengan cara yang radikal pula. Robert Putnam berpikir mengenai perubahan budaya
melalui konsep dalam civil society
(termasuk didalamnya IMM) yang harus dipenuhi antara lain:
a. Keterlibatan kader; IMM sebagai civil society harus melibatkan seluruh
anggotanya untuk berkontribusi melalui kesadaran bahwa tiap-tiap anggota
memiliki kepentingan pribadi dan mau untuk mengejarnya. Dan IMM harus mampu
menjawab kepentingan pribadi tersebut dapat didapat melalui organisasi dengan
prinsip agregasi dan artikulasi.
b. Kesetaraan politik; dalam menjalankan roda
organisasi, IMM harus memberikan kesetaraan politik baik segi internal maupun
eksternal organisasi. Dalam konteks internal dimaksudkan bahwa organisasi tidak
secara langsung membangun hierarki yang arogan melainkan melalui norma-norma
informal seperti kepercayaan yang solid dan toleransi. Sedangkan yang dimaksud
konteks ekternal yakni mampu menempatkan diri secara sejajar dengan organisasi
lainnya.
c. Solidaritas, kepercayaan dan toleransi; IMM
harus membangun kekuatan dalam hal solidaritas melalui penghormatan dan sama
rasa terhadap kader, kepercayaan dengan tidak merasa untuk menghianati atau
dihianati, dan toleransi dengan menghargai dan menghormati dari sebuah hal yang
berbeda dala,m semua hal.
d. Struktur kerja sama sosial; IMM harus mampu
membangun kesamaan tujuan daripada anggotanya, baik intenal (bagi anggota)
maupun eksternal (kejaksanaan). Sehingga terbentuklah kerja sama yang baik
dalam organisasi.
Kedua aspek pendidikan, yakni aspek
yang dipercaya sebagai pembentuk karakter para kader dan berfungsi menggerakan
serta meningkatkan daya nalar kader sehingga suatu organisasi pergerakan
mahasiswa –khusunya IMM mendapatkan sumber daya manusia yang unggul untuk
meneruskan titah pergerakannya. Akan tetapi saat sekarang, seakan-akan kualitas
dan mutu masih menjadi isapan jempol belaka yang mana hal ini dapat
membahayakan bagi masa depan IMM. Oleh
karenanya untuk menjaga dan membangun daya saing pendidikan atau perkaderan di
tengah globalisasi dibutuhkan pola dan sistem perkaderan yang tepat. Maka
sesuai amanat Muktamar Muhammadiyah ke-45 memberikan rujukan melalui
prinsip-prinsip kaderisasi antara lain:
a. Selalu menjadikan tujuan persyarikatan
Muhammadiyah (induk organisasi IMM) sebagi acuan
b. Komitmen dan istiqomah, kepribadian yang mulia,
wawasan pemikiran dan visi yang luas, dan keahlian yang tinggi dan amaliayah
yang unggul
c. Mengutamakan musyawarah
d. Menggairahkan al-islam dan al-jihad
e. Keteladanan dan kemauan belajar
f. Disiplin dan tepat waktu
g. Menumbuhkan gairah keagamaan melalui pengajian
singkat, dan shalat tepat waktu serta shalat berjamaah
h. Gemar menyelenggarakan kajian keislaman dan
memakmurkan masjid
i. Amanah dalam mengelola organisasi
j. Tidak mengejar tetapi juga tidak menghindarkan
dari jabatan
k. Menjauhkan diri dari fitnah, kesombongan dan ananiyah.
l. Membangun imamah dan ikatan jamah serta
jam’iyah
m. Mengembangkan jiwa pembeaharu dan jiwa dakwah
serta kepeloran dalam kemajuan
n. Mengemban misi Muhammadiyah dengan penuh
tanggung jawab, kesetiaan, kejujuran serta menjauhkan diri dari rasa bangga
diri atas suatu keberhasilan
o. Menjauhkan diri dari perbuatan taqlid, syirik, bid’ah, takhayul dan khurafat
p. Menunjukan akhlak pribadi muslim dan mampu
membina kekeluargaan yang islami
Sebagai Gerakan Moral (moral force)
Ditengah
wajah ganas nya ideologi global yang kini hadir dalam struktur sosial manusia,
secara perlahan namun pasti juga akan berimplikasi terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara dalam masyarakat kita. Bagaimanapun Muhammadiyah sebagai induk
organisasi IMM dalam kondisi ini tidak bisa mengelak dari sasaran kepentingan
global. Oleh karena itu, sebagai gerakan yang sudah meletakan langkah gerak dan
cita-citanya untuk mendorong gerakan amar
ma’ruf nahi mungkar demi terwujudnya masyarakat islam yang sebenar-benarnya
sebagaimana harus mampu mengambil peran utama dalam ruang sosial masyarakat.
Sama
halnya dengan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), juga harus menjadi aktor
gerakan moral dalam masyarakat. Secara formal gerakan mahasiswa ini
mengejawantakan semangat yang dibawa oleh organisasi induknya mengenai langkah
gerak dan cita-cita dalam suatu trilogi, yakni religiulitas, intelektualitas, dan humanitas.
Dalam
ideologi religiulitas, wajah yang
dihadapkan secara langsung kepada organisasi pergerakan mahasiswa ini adalah
sekularisme yang terjadi di masyarakat. Sebagai organisasi yang beridentias
Islam dan Muhammadiyah, IMM harus ikut serta dalam mendorong islamisasi dalam
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan mulai dari penguatan internal hingga
implementasi eksternal ke masyarakat.
Sedangkan
Intelektualitas sebagai ideologi
merupakan basis dasar dari mahasiswa. Ideologi ini memusatkan diri pada
pemantapan ilmu-ilmu dan secara ideal memposisikan kader sebagai sosok
cendekiawan. Beban pundak dalam hal ini adalah bagaimana imm menciptakan
moralitas-intelektualitas pada kadernya melalui sistem perkaderan.
Adapun
ideologi Humanitas, adalah ideologi
yang sering dikaitkan dengan surat Al-Ma’un yang mana mengajarkan bahwa ibadah
ritual tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Maka ada
beban di pundak IMM dalam ideologi humanity
ini yakni bertindak jika terjadi sesuatu gejala di dalam masyarakat. Artinya
IMM ditekanan dalam ideologi ini adalah mengenai kepekaan sosial dalam
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Asyari, Deni. 2010. Selamatkan
Muhammadiyah!: Agenda Mendesak Warga Muhammadiyah. Yogyakarta: Naufan Pustaka
Burhani, Ahmad Najib. 2016. Muhammadiyah
Berkemajuan: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopoitanisme. Bandung: PT. Mizan
Pustaka
Fakih, Mansour. 2002. Jalan Lain:
Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta: INSISTPress
& Pustaka Pelajar
Frank Fischer, Geral J. Miller, and Mara
S. Sidney. 2007. Handbook of Public Policy Analysis: theory, politics, and
methode. Boca Raton: CRC Press
Fukuyama, Francis. 2001. Social capital,
civil society and development. Third
World Querterly. 22(1): 7-20
Hadiswinata, Bob Sugeng. 2005. Civil
Society: Pembangunan dan Sekaligus Perusak Demokrasi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 9(1): 1-22
Hyden, Goran. 1997. Civil Society, Social
Capital, and Development: Dissection of a Complex Discourse. Studies in Comperative International
Development. 32(1): 3-30
Nashir, Haedar. 2010. Muhammadiyah Gerakan
Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy
Work: Traditions in Modern Italy. New Jersey: Princeton Univercity Press
di tulis oleh : M. Ragil Yoga Priyangga
0 komentar:
Posting Komentar