Kamis, 18 Oktober 2018

Tantangan IMM dalam Berbangsa dan Bernegara


Abad 21 dikenal sebagai abad yang dipengaruhi oleh arus Globalisasi. Hal ini ditandai dengan apa-apa yang serba terbuka, transparan, bebas dan mengglobal. Di mana manusia hidup dalam dunia yang tanpa batas, hasil dari kemajuan ilmu dan teknologi, tetekomunikasi  transportasi telah menjadikan dunia menjadi desa yang kecil. Walaupun berbagai aspek positif dapat digali dalam kemajuan abad 21 tersebut, namun aspek negatif yang akan menghadang didepan kita pun juga tidak mungkin untuk dielakan.
John Naisbit dan Patricia Aburdene memprediksi berbagai kecenderungan yang akan terjadi dalam abad 21 ini, diantaranya adalah, pertama, Sistem industri yang akan beralih ke dalam sistem masyarakat informasi, kedua sistem perekonomian nasional akan beralih ke dalam sistem perekonomian global. Ketiga, peran negara bagian selatan akan diambil alih oleh negara-negara bagian utara, keempat, munculnya dua kutub ekstrim yang saling berhadapan, antara islam fundamental dan sekularisme fundamental. Kelima, perkembangan teknologi yang semakin canggih.
Dalam konteks negara tentu hal ini akan memberikan dampak –bisa baik ataupun buruk secara langsung ataupun tidak langsung kepada negara itu sendiri, sektor swasta, maupun di kalangan masyarakat. Maka perubahan yang terjadi akibat dari globalisasi harus dicermati tidak hanya dengan model rasional semata, melainkan secara kritis melihat kondisi realitas dalam suatu masyarakat, khususnya di Indonesia.
Oleh karena itu, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) sebagai organisasi mahasiswa memiliki tanggung jawab dan tantangan yang vital bersama organisasi mahasiswa lainnya, yakni menjalankan fungsi mahasiswa yang menjadi salah satu pilar penyangga kehidupan demokrasi di Indonesia. Adapun fungsi tersebut yakni agen perubahan (agent of change), kontrol sosial (social control), generasi penerus (iron stock), dan gerakan moral (moral force). Dengan upaya menjalankan peran mahasiswa inilah yang diharapkan akan lahir sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat mencapai cita-cita dan tujuan negara Indonesia seperti yang dikemukakan dalam pembukaan dasar konstitusi kita.

Sebagai Agen Perubahan (agent of change)
Sebagai pengantar awal saya coba merefleksikan dari pada teori sosial kritik, globalisasi telah memberikan dampak yang luar biasa pada bangsa indonesia. Hal ini bisa dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan lain-lain dengan cara bukan hanya rasional saja, melainkan juga dengan cara kritis. Sehingga ketika melihat suatu gejala yang terjadi dalam suatu masyarakat tidak serta merta dapat menilai dengan mudah, melainkan dengan analisis yang baik dan dapat bertindak mengubah keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik melalui aksi nyata.
Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa peran gerakan mahasiswa juga mengalami pasang surut bak air laut yang kadang pasang, kadang surut, bahkan pasca reformasi gerakan mahasiswa disinyalir oleh banyak kalangan mengalami “kemandulan gerakan” atau “mati suri”. Pengamat politik, Indra J. Piliang, menyebutkan bahwa gerakan mahasiswa hari ini belum mampu menunjukan identitasnya sebagai agen perubahan (agent of change). Bahkan yang lebih tragisnya lagi adalah, hasil jejak pendapat Kompas yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tanggal 1-2 Februari dengan mengangkat tema tentang Peran Gerakan Mahasiswa yang dipublikasikan pada tanggal 6 Februari 2006, hampir 50% dari publik menyebutkan bahwa peranan gerakan mahasiswa menyikapi kondisi bangsa semakin menurun. Dan tidak sedikit pula publik menilai jika gerakan mahasiswa jauh lebih mundur dari pada gerakan mahasiswa sebelum reformasi.
Beberapa masalah muncul di tubuh gerakan mahasiswa tersebut, tidak lepas dari pergerakan yang terjadi di tubuh mahasiswa, setidaknya jika dilihat secara objektif terdapat beberapa aspek yang menyebabkan peran gerakan mahasiswa semakin mundur. Pertama, Lemahnya visi dan landasan paradigma yang dijalankan oleh gerakan mahasiswa. Hal ini menjadi ironis karena kontinunitas gerakan mahasiswa dalam merancang visi dan landasan paradigma tersebut, gagal di era sekarang. Buktinya, walaupun berbagai nama gerakan mahasiswa banyak yang muncul, namun tidak memiliki kekuatan yang integratif dan terpadu. Akhirnya tidak heran jika gerakan mahasiswa yang ada berjalan sendiri-sendiri.
Padahal sebagai agent of change, gerakan mahasiswa bisa lepas dari bangunan visi kolektif dan landasan paradigma gerakan. Sebab visi maupun paradigma gerakan tersebut merupakan unsur terpenting dalam melakukan sebuah perubahan. Tanpa adanya visi dan paradigma gerakan, akan berdampak terhadap cara gerakan mahasiswa dalam merespon persoalan yang muncul.
Kedua, menyangkut tingginya budaya pragmatisme di kalangan gerakan mahasiswa. Di tengah kuatnya arus budaya hedonisme, posisi gerakan mahasiswa juga menjadi sasaran empuk yang sulit mengelak dari kondisi yang ada. Tanpa menutup mata, gerakan mahasiswa saat ini lebih cenderung untuk berbicara soal life style ketimbang duduk bersama untuk berdiskusi atau melakukan advokasi dan gerakan-gerakan pemberdayaan (socal empowering).
Ketiga, semakin bergesernya kerja-kerja intelektualisme ke arah aktivisme secara hakikat. Kerja-kerja intelektual yang menjadi landasan bagi  sebuah gerakan, tidak lagi menjadi tradisi di kalangan gerakan mahasiswa. Sehingga output gerakan yang dihasilkan pun cenderung premature atau tanpa hasil yang maksimal. Apalagi di tengah euforia politik pasca reformasi, membuat mahasiswa tidak memiliki daya tahan dalam melawan syahwat politiknya untuk terjun ke dalam dunia politik praktis.
Keempat, secara eksternal gerakan juga dipengaruhi oleh kuatnya tekanan imprealisme baru terhadap rezim pemerintahan yang berjalan, sehingga berdampak terhadap melemahnya fungsi pemerintah sebagai aktor yang diamanahkan untuk menjalankan tujuan negara. Dengan lemahnya fungsi pemerintah tersebut, tidak dengan sendirinya suara-suara protes keluar dari gerakan mahasiswa mendapat respon yang positif oleh pegang kebijakan.
Atas berbagai problem ini, maka IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) sebagai bagian dari elemen gerakan di tanah air, harus dengan segera keluar dari berbagi krisis dan kemelut gerakan untuk tampil sebagai pelopor dalam mempercelat perubahan sosial yang direncanakan.

Sebagai Kontrol Sosial (social control)
Tata kelola yang baik adalah bagaimana terwujudnya policy network antara sektor publik (pemerintah), sektor swasta, dan masyarakat sipil. IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) sebagai gerakan mahasiswa adalah salah satu dari wujud masyarakat sipil yang ada di Indonesia, sudah seharusnya memberikan kontibusi berupa jempatan antara masyarakat dengan sektor publik (pemerintah) tentang hubungan yang memerintah dengan yang diperintah dalam bentuk kebijakan. Maka penilaian mengenai kebijakan yang memerintah pada suatu masyarakat dibawa oleh dari pemerintah itu sendiri, ataupun sebaliknya menjadi pelaku sosialisi atau ulur tangan pemerintah. Dengan fungsinya sebagai penengah tersebut, gerakan mahasiswa secara ideal bergerak secara statis.
Meskipun demikian, pegerakan dari gerakan mahasiswa pada umumnya lebih condong sebagai jembatan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atau feedback dari sebuah kebijakan. Hal ini cukup jelas jika memang lebih tepat sebuah gerakan mahasiswa yang termasuk dalam bagian masyarakat sipil berperan sebagai counter hegemony daripada partner pemerintah. Mengutip dari pada Acton, “kekuasaan cenderung korup, semakin absolutnya kekuasaan membuat korup semakin absolut juga”, artinya masyarakat sipil sejatinya memang sebagai kekuatan penyeimbang. Hegel pun dalam pemikiran post-Marxis nya mengenai masyarakat sipil pun mengatakan demikian, yakni mampu sebagai counter hegemony yang memiliki tujuan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Sebuah kebijakan pemerintah tentu tidak dilahirkan secara tiba-tiba, malainkan dapat dijelaskan melalui teori kausalitas, serta pada siklusnya. Pada siklus kebijakan, dalam pemerintahan yang terbuka, masyarakat akan dapat selalu memantau dari awal hingga akhir, dan disinilah peran gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa, khususnya IMM, dapat sebagai kontrol sosial dengan memperhatikan tiap-tiap tahapan dari sebuah siklus kebijakan, dan ketika dinilainya terjadi sesuatu yang gawat maka disitulah waktu yang tepat untuk memainkan peranannya, memberikan feedback. Adapun siklus kebijakan yang harus diperhatikan menurut Warner John dan Kai Wegrich sebagai berikut:
 













Sehingga pada sekarang ini yang notabenenya dalam tahap konsolidasi, IMM yang termasuk dalam masyarakat sipil harus mampu menjalankan peranannya dalam upaya pembentukan–pembentukan pemerintahan yang transparan dan bertanggungjawab kepada rakyat (good governance) serta upaya untuk memastikan bahwa demokrasi merupakan satu-satunya aturan main yang berlaku (the only game in town).

Sebagai Generasi Penerus (iron stock)
Upaya bentuk perkaderan yang dilakukan oleh Muhammadiyah, dalam gerakan mahasiswa belakangan ini walaupun jauh lebih sistematis dibandingkan bentuk perkaderan yang ada pada masa tempo dulu, namun jika dilihat dari yang ada pada masa tempo dulu, namun jika dilihat dari output maupun outcomes yang ada, masih jauh dari capaian optimal sebagaimana hasil perkaderan yang dilakukanpada masa awal terbentuknya gerakan ini. Walaupun secara kuantitas kader di dalam Muhammadiyah mengalami jumlah yang cukup meningkat dalam tiap tahunnya hingga kini berjumlah 30 juta lebih, namun jumlah tersebut belum sebanding dengan kualitas dan sumber daya kader dalam Muhammadiyah. Sebab sangat tampak jika proses kaderisasi yang dilakukan sangat terpaku pada aspek substansif dalam persyarikatan Muhammadiyah.
IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) sebagai organisasi otonom dari Muhammadiyah, serta sebagai bagian dari masyarakat sipil harus memperhatikan sistem perkaderan yang ada didalamnya. Hal ini dikarenakan perkaderan adalah jantung dari sebuah organisasi yang mana akan mencerminkan organisasi itu sendiri, baik ataupun buruk. Maka jika IMM sebagai gerakan mahasiswa sudah “mati suri” harus mulai kembali merevitalisasi sistem perkaderan yang melihat dari berbagai aspek.
Pertama aspek budaya, yakni mengenai nilai-nilai dalam organisasi. Jika budaya diartikan sebagai nilai-nilai yang dilaksanakan secara berulang dengan cara tertentu, maka budaya adalah suatu hal yang melekat dan menjadi identitas dalam organisasi. Tentunya dalam mentransformasikan budaya mengarah kepada yang lebih baik, maka harus dilakukan dengan cara yang radikal pula. Robert Putnam berpikir mengenai perubahan budaya melalui konsep dalam civil society (termasuk didalamnya IMM) yang harus dipenuhi antara lain:
a.    Keterlibatan kader; IMM sebagai civil society harus melibatkan seluruh anggotanya untuk berkontribusi melalui kesadaran bahwa tiap-tiap anggota memiliki kepentingan pribadi dan mau untuk mengejarnya. Dan IMM harus mampu menjawab kepentingan pribadi tersebut dapat didapat melalui organisasi dengan prinsip agregasi dan artikulasi.
b.    Kesetaraan politik; dalam menjalankan roda organisasi, IMM harus memberikan kesetaraan politik baik segi internal maupun eksternal organisasi. Dalam konteks internal dimaksudkan bahwa organisasi tidak secara langsung membangun hierarki yang arogan melainkan melalui norma-norma informal seperti kepercayaan yang solid dan toleransi. Sedangkan yang dimaksud konteks ekternal yakni mampu menempatkan diri secara sejajar dengan organisasi lainnya.
c.    Solidaritas, kepercayaan dan toleransi; IMM harus membangun kekuatan dalam hal solidaritas melalui penghormatan dan sama rasa terhadap kader, kepercayaan dengan tidak merasa untuk menghianati atau dihianati, dan toleransi dengan menghargai dan menghormati dari sebuah hal yang berbeda dala,m semua hal.
d.    Struktur kerja sama sosial; IMM harus mampu membangun kesamaan tujuan daripada anggotanya, baik intenal (bagi anggota) maupun eksternal (kejaksanaan). Sehingga terbentuklah kerja sama yang baik dalam organisasi.
Kedua aspek pendidikan, yakni aspek yang dipercaya sebagai pembentuk karakter para kader dan berfungsi menggerakan serta meningkatkan daya nalar kader sehingga suatu organisasi pergerakan mahasiswa –khusunya IMM mendapatkan sumber daya manusia yang unggul untuk meneruskan titah pergerakannya. Akan tetapi saat sekarang, seakan-akan kualitas dan mutu masih menjadi isapan jempol belaka yang mana hal ini dapat membahayakan  bagi masa depan IMM. Oleh karenanya untuk menjaga dan membangun daya saing pendidikan atau perkaderan di tengah globalisasi dibutuhkan pola dan sistem perkaderan yang tepat. Maka sesuai amanat Muktamar Muhammadiyah ke-45 memberikan rujukan melalui prinsip-prinsip kaderisasi antara lain:
a.    Selalu menjadikan tujuan persyarikatan Muhammadiyah (induk organisasi IMM) sebagi acuan
b.    Komitmen dan istiqomah, kepribadian yang mulia, wawasan pemikiran dan visi yang luas, dan keahlian yang tinggi dan amaliayah yang unggul
c.    Mengutamakan musyawarah
d.    Menggairahkan al-islam dan al-jihad
e.    Keteladanan dan kemauan belajar
f.     Disiplin dan tepat waktu
g.    Menumbuhkan gairah keagamaan melalui pengajian singkat, dan shalat tepat waktu serta shalat berjamaah
h.    Gemar menyelenggarakan kajian keislaman dan memakmurkan masjid
i.      Amanah dalam mengelola organisasi
j.      Tidak mengejar tetapi juga tidak menghindarkan dari jabatan
k.    Menjauhkan diri dari fitnah, kesombongan dan ananiyah.
l.      Membangun imamah dan ikatan jamah serta jam’iyah
m.  Mengembangkan jiwa pembeaharu dan jiwa dakwah serta kepeloran dalam kemajuan
n.    Mengemban misi Muhammadiyah dengan penuh tanggung jawab, kesetiaan, kejujuran serta menjauhkan diri dari rasa bangga diri atas suatu keberhasilan
o.    Menjauhkan diri dari perbuatan taqlid, syirik, bid’ah, takhayul dan khurafat
p.    Menunjukan akhlak pribadi muslim dan mampu membina kekeluargaan yang islami

Sebagai Gerakan Moral (moral force)
Ditengah wajah ganas nya ideologi global yang kini hadir dalam struktur sosial manusia, secara perlahan namun pasti juga akan berimplikasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat kita. Bagaimanapun Muhammadiyah sebagai induk organisasi IMM dalam kondisi ini tidak bisa mengelak dari sasaran kepentingan global. Oleh karena itu, sebagai gerakan yang sudah meletakan langkah gerak dan cita-citanya untuk mendorong gerakan amar ma’ruf nahi mungkar demi terwujudnya masyarakat islam yang sebenar-benarnya sebagaimana harus mampu mengambil peran utama dalam ruang sosial masyarakat.
Sama halnya dengan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), juga harus menjadi aktor gerakan moral dalam masyarakat. Secara formal gerakan mahasiswa ini mengejawantakan semangat yang dibawa oleh organisasi induknya mengenai langkah gerak dan cita-cita dalam suatu trilogi, yakni religiulitas, intelektualitas, dan humanitas.
Dalam ideologi religiulitas, wajah yang dihadapkan secara langsung kepada organisasi pergerakan mahasiswa ini adalah sekularisme yang terjadi di masyarakat. Sebagai organisasi yang beridentias Islam dan Muhammadiyah, IMM harus ikut serta dalam mendorong islamisasi dalam masyarakat. Hal ini dapat dilakukan mulai dari penguatan internal hingga implementasi eksternal ke masyarakat.
Sedangkan Intelektualitas sebagai ideologi merupakan basis dasar dari mahasiswa. Ideologi ini memusatkan diri pada pemantapan ilmu-ilmu dan secara ideal memposisikan kader sebagai sosok cendekiawan. Beban pundak dalam hal ini adalah bagaimana imm menciptakan moralitas-intelektualitas pada kadernya melalui sistem perkaderan.
Adapun ideologi Humanitas, adalah ideologi yang sering dikaitkan dengan surat Al-Ma’un yang mana mengajarkan bahwa ibadah ritual tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Maka ada beban di pundak IMM dalam ideologi humanity ini yakni bertindak jika terjadi sesuatu gejala di dalam masyarakat. Artinya IMM ditekanan dalam ideologi ini adalah mengenai kepekaan sosial dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Asyari, Deni. 2010. Selamatkan Muhammadiyah!: Agenda Mendesak Warga Muhammadiyah. Yogyakarta: Naufan Pustaka
Burhani, Ahmad Najib. 2016. Muhammadiyah Berkemajuan: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopoitanisme. Bandung: PT. Mizan Pustaka
Fakih, Mansour. 2002. Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta:  INSISTPress & Pustaka Pelajar
Frank Fischer, Geral J. Miller, and Mara S. Sidney. 2007. Handbook of Public Policy Analysis: theory, politics, and methode. Boca Raton: CRC Press
Fukuyama, Francis. 2001. Social capital, civil society and development. Third World Querterly. 22(1): 7-20
Hadiswinata, Bob Sugeng. 2005. Civil Society: Pembangunan dan Sekaligus Perusak Demokrasi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 9(1): 1-22
Hyden, Goran. 1997. Civil Society, Social Capital, and Development: Dissection of a Complex Discourse. Studies in Comperative International Development. 32(1): 3-30
Nashir, Haedar. 2010. Muhammadiyah Gerakan Pembaruan. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Putnam, Robert D. 1993. Making Democracy Work: Traditions in Modern Italy. New Jersey: Princeton Univercity Press

di tulis oleh : M. Ragil Yoga Priyangga

0 komentar:

Posting Komentar