Rabu, 04 April 2018

BUBARKAN KPK!


BUBARKAN KPK!
 Hasil gambar untuk kpk
KPK lahir dengan semangat reformasi dengan agenda yakni menangani korupsi sampai akarnya serta dengan sifat yang independen dari kekuasaan manapun. Dasar hukumnya melalui Undang-undang No.30 tahun 2002, yang mana presiden pada saat itu adalah Megawati Soekarnoputri. Tugas utama komisi ini adalah pencegahan dan penindakan. Dalam tugas penindakan, wewenang yang diberikan kepada komisi anti rasuah ini bisa dikatakan sangat besar, antara lain; penyidikan, penyelidikan, hingga penuntutan. Maka bisa dilihat bahwa wewenang sebesar ini yang seharusnya dipegang oleh lembaga independen lainnya, seperti; polri, kejaksaan, dan pengadilan, cukup dipegang oleh satu lembaga saja (superbody), yakni KPK. Artinya tugas dan wewenangnya akan tumpang tindih satu sama lainnya, tetapi amanat undang-undang tersebut telah menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya komisi ini harus supervisi dengan lembaga yang sudah ada sebelumnya.
Undang-undang yang mendasari didirikannya KPK menyebutkan bahwa yang menjadi urusan komisi ini dalam penindakan adalah kasus yang cukup besar dan dinilai merugikan negara sehingga berdampak pada sistematika kehidupan bernegara (‘Big Fish’). Angkanya pun disebutkan, yakni minimal 1 milyar rupiah, artinya dibawah angka itu wewenang dalam penindakan kasus korupsi cukup dilakukan oleh Polri.
Dengan wewenang yang sangat besar itu komisi ini dapat bekerja dengan optimal dalam tugasnya. Maka tidak heran jika banyak kasus yang diurusinya diusut hingga tuntas, bahkan komisi ini mengklaim bahwa semua dalam semua kasus korupsi yang diurusnya.
Problematika
Namun semua itu KPK memiliki masalah yang sangat besar menyelimutinya. Pertama, KPK adalah lembaga yang menyimpang terhadap nilai-nilai demokrasi. Demokrasi sendiri adalah suatu sistem yang mana kekuasaan besar tidak hanya berpangku disatu tangan saja, melainkan dibagi secara merata merata, begitu pula seperti adanya trias politica dalam lembaga tinggi negara, artinya ada batasnya. Meski nanti dalam pembagian tersebut ada hubungan, tetapi hubungan tersebut hanya sebatas interaksi untuk saling mendukung serta checks and balances. Adanya KPK, dinilai wujud pelemahan nilai-nilai demokrasi atau mengembalikan feodalisme, dan hal ini bertentangan dengan semangat reformasi.
Kedua, KPK hanya fokus pada satu tugas saja, yakni penindakan, dan mengabaikan tugas pencegahan. Tugas pencegahan yang dilakukan hanya dengan meminta laporan harta kekayaan para pejabat yang selanjutnya diauditnya, hanya itu. Seharusnya KPK supervisi dengan lembaga lain seperti Ombudsman, karena korupsi adalah permasalahan sistem. Ketiga, Adanya tumpang tindih dalam melaksanakan tugasnya, hal ini menunjukan supervisi yang diemban oleh KPK itu gagal, contohnya adalah kasus konfrontasi cicak Vs. buaya yang sempat kontroversial pada beberapa waktu yang lalu.
Selain itu, tidaklah heran apabila KPK dalam mengurusi semua perkara korupsi diusutnya dengan tuntas hingga jatuh tuntutan di pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi). Hal ini bukan disebabkan kinerjanya yang bagus, namun KPK tidak mempunyai wewenang untuk mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Artinya seseorang yang sudah dicium oleh kpk, tidak mungkin bisa mengajukan pembelaan dan terbebas, atau dalam kata lain tidak adanya asas praduga tidak bersalah.
KPK pun dinilai tebang pilih dalam memilih perkara. Seperti; BLBI, Hambalang, E-KTP -permasalahan kompleks tetapi hanya Setya Novanto yang ditangani-, dan masih banyak lagi. Sehingga banyak yang menilai bahwa penanganan korupsi merupakan sebuah konspirasi politik. Seperti yang dikatakan pengamat hukum pidana, Umar Husain, menyatakan “Kalau seperti PKS, PPP (oknum kader) yang terlibat korupsi langsung disikat, kalau seperti Golkar atau PDIP muter-muter”. Dan indeks korupsi di Indonesia tiap tahun meningkat, dan inilah yang menjadi tolak ukur kegagalan KPK dalam menjalankan tugas dengan wewenang yang sangat besar.

Daftar Pustaka
            Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 2002. Sekretariat Negara. Jakarta.    
https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi diakses pada 3/4/2018 pukul 23:40
Fahri Hamzah, “Demokrasi Transisi Korupsi: Orkestra Pemberantasan Korupsi Sistemik”, Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012.
            https://www.youtube.com/watch?v=JVsWWcmay64 diakses pada 3/4/2018 pukul 13:32
            Fahri Hamzah, “Kemana Ujung Century?”, Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012

Oleh: M. Ragil Yoga Priyangga (Dept. Politik dan Pemerintahan 2017/Undip)

0 komentar:

Posting Komentar