BUBARKAN
KPK!
KPK
lahir dengan semangat reformasi dengan agenda yakni menangani korupsi sampai
akarnya serta dengan sifat yang independen dari kekuasaan manapun. Dasar hukumnya
melalui Undang-undang No.30 tahun 2002, yang mana presiden pada saat itu adalah
Megawati Soekarnoputri. Tugas utama komisi ini adalah pencegahan dan
penindakan. Dalam tugas penindakan, wewenang yang diberikan kepada komisi anti
rasuah ini bisa dikatakan sangat besar, antara lain; penyidikan, penyelidikan,
hingga penuntutan. Maka bisa dilihat bahwa wewenang sebesar ini yang seharusnya
dipegang oleh lembaga independen lainnya, seperti; polri, kejaksaan, dan
pengadilan, cukup dipegang oleh satu lembaga saja (superbody), yakni KPK.
Artinya tugas dan wewenangnya akan tumpang tindih satu sama lainnya, tetapi
amanat undang-undang tersebut telah menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya
komisi ini harus supervisi dengan lembaga yang sudah ada sebelumnya.
Undang-undang
yang mendasari didirikannya KPK menyebutkan bahwa yang menjadi urusan komisi
ini dalam penindakan adalah kasus yang cukup besar dan dinilai merugikan negara
sehingga berdampak pada sistematika kehidupan bernegara (‘Big Fish’). Angkanya pun disebutkan, yakni minimal 1 milyar rupiah,
artinya dibawah angka itu wewenang dalam penindakan kasus korupsi cukup
dilakukan oleh Polri.
Dengan
wewenang yang sangat besar itu komisi ini dapat bekerja dengan optimal dalam
tugasnya. Maka tidak heran jika banyak kasus yang diurusinya diusut hingga
tuntas, bahkan komisi ini mengklaim bahwa semua dalam semua kasus korupsi yang
diurusnya.
Problematika
Namun
semua itu KPK memiliki masalah yang sangat besar menyelimutinya. Pertama, KPK adalah lembaga yang
menyimpang terhadap nilai-nilai demokrasi. Demokrasi sendiri adalah suatu
sistem yang mana kekuasaan besar tidak hanya berpangku disatu tangan saja,
melainkan dibagi secara merata merata, begitu pula seperti adanya trias politica dalam lembaga tinggi
negara, artinya ada batasnya. Meski nanti dalam pembagian tersebut ada
hubungan, tetapi hubungan tersebut hanya sebatas interaksi untuk saling
mendukung serta checks and balances.
Adanya KPK, dinilai wujud pelemahan nilai-nilai demokrasi atau mengembalikan
feodalisme, dan hal ini bertentangan dengan semangat reformasi.
Kedua, KPK hanya fokus pada satu tugas saja, yakni
penindakan, dan mengabaikan tugas pencegahan. Tugas pencegahan yang dilakukan
hanya dengan meminta laporan harta kekayaan para pejabat yang selanjutnya
diauditnya, hanya itu. Seharusnya KPK supervisi dengan lembaga lain seperti
Ombudsman, karena korupsi adalah permasalahan sistem. Ketiga, Adanya tumpang tindih dalam melaksanakan tugasnya, hal ini menunjukan
supervisi yang diemban oleh KPK itu gagal, contohnya adalah kasus konfrontasi
cicak Vs. buaya yang sempat kontroversial pada beberapa waktu yang lalu.
Selain
itu, tidaklah heran apabila KPK dalam mengurusi semua perkara korupsi diusutnya
dengan tuntas hingga jatuh tuntutan di pengadilan Tipikor (tindak pidana
korupsi). Hal ini bukan disebabkan kinerjanya yang bagus, namun KPK tidak
mempunyai wewenang untuk mengeluarkan SP3 (surat perintah penghentian
penyidikan). Artinya seseorang yang sudah dicium oleh kpk, tidak mungkin bisa
mengajukan pembelaan dan terbebas, atau dalam kata lain tidak adanya asas
praduga tidak bersalah.
KPK
pun dinilai tebang pilih dalam memilih perkara. Seperti; BLBI, Hambalang, E-KTP
-permasalahan kompleks tetapi hanya Setya Novanto yang ditangani-, dan masih
banyak lagi. Sehingga banyak yang menilai bahwa penanganan korupsi merupakan
sebuah konspirasi politik. Seperti yang dikatakan pengamat hukum pidana, Umar
Husain, menyatakan “Kalau seperti PKS, PPP (oknum kader) yang terlibat korupsi
langsung disikat, kalau seperti Golkar atau PDIP muter-muter”. Dan indeks
korupsi di Indonesia tiap tahun meningkat, dan inilah yang menjadi tolak ukur
kegagalan KPK dalam menjalankan tugas dengan wewenang yang sangat besar.
Daftar Pustaka
Republik Indonesia. 2002.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 2002. Sekretariat Negara. Jakarta.
https://acch.kpk.go.id/id/statistik/tindak-pidana-korupsi
diakses pada 3/4/2018 pukul 23:40
Fahri
Hamzah, “Demokrasi Transisi Korupsi:
Orkestra Pemberantasan Korupsi Sistemik”, Jakarta: Yayasan Faham Indonesia,
2012.
https://www.youtube.com/watch?v=JVsWWcmay64
diakses pada 3/4/2018 pukul 13:32
Fahri Hamzah, “Kemana Ujung Century?”, Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2012
Oleh: M. Ragil Yoga Priyangga (Dept. Politik dan Pemerintahan 2017/Undip)
0 komentar:
Posting Komentar