Bagi orang-orang yang belajar dan membaca sejarah pergerakan di
Indonesia, dari era pra-kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan –dan hingga
sekarang-, rasanya mustahil bila tak mengenal Muhammadiyah. Sejak awal
kelahirannya, Muhammadiyah telah banyak melakukan gerakan kongkrit yang banyak
membantu pengembangan Sumber Daya Manusia di Masyarakat: dimulai dari hidup
sosial, ekonomi, kesehatan, keagamaan, hingga politik. Taruhlah dalam berbagai
agenda kerjanya, Muhammadiyah dapat dikatakan cukup berhasil dalam me-menej
gerakan amal usahanya dalam bentuk yang sangat modern dan adaptif dengan
perkembangan zaman. Hal ini pun sesuai dengan tesis-nya Kuntowijoyo yang menyatakan,
bahwa langkah Muhammadiyah memang sangat berhasil dalam agenda integrasi
kedalam/internal: mengurusi urusan privat seperti sekolah, pengajian,
kesehatan, zakat, dsb. ketimbang mengurusi agenda integrasi keluar seperti
agenda-agenda politis-hukum kebangsaan. Namun nampaknya, tesis Kuntowijoyo ini
pun sedang mengalami pertaruhan bahwa hingga saat ini, sudah mulai terlihat
nafas yang berbeda dari Muhammadiyah dalam melakukan gerak langkah kongkritnya.
Ini terlihat bagaimana Muhammadiyah di era kepemimpinan Din Syamsuddin mulai
mengurusi agenda politiko-hukum kebangsaan dengan memproklamirkan “Jihad
Konstitusi” dengan menggugat sejumlah Undang-undang yang dinilai Neo-Liberal.
Selain agenda politiko-hukum diatas, Muhammadiyah semenjak satu
dasawarsa yang lalu sudah memulai langkah gerak isu keberagaman dan kebangsaan.
Misalnya ketika Sidang Tanwir di Denpasar tahun 2002, Muhammadiyah memutuskan
untuk menggunakan tagline “Dakwah Kultural” sebagai langkah dakwah kongkrit
Muhammadiyah masa kini. Tanpa menghilangkan tujuan akhir dakwah Muhammadiyah
–yakni Tauhidullah-, dakwah kultural merupakan metode dakwah demi merangkul
umat dalam keberagaman. Dengan begini, demi memperhatikan situasi dan kondisi
yang semakin berubah tiap zamannya, maka keadaan seakan “terus” memaksa
Muhammadiyah agar keluar dari zona nyamannya. Zona nyaman ini tersublimasi
ketika Muhammadiyah masih terlalu berkutat dalam ranah pengurusan amal usaha,
yang terkadang membuat think-tank Muhammadiyah terlalu memusingkan persoalan
birokratif dan manajemensi perusahaan.
Dalam beberapa tulisannya, Najib Burhani sempat melontarkan kritik
yang sama, bahwa perlu ada pembaharuan dan reorientasi gerakan Muhammadiyah.
Sekalipun pada mulanya Muhammadiyah itu sendiri sangat dikenal sebagai gerakan
sosial, namun pada dasarnya gerakan Muhammadiyah berasal dari gerakan
pemikiran. Sebagai gerakan pemikiran, maka Muhammadiyah dituntut untuk terus
memperhabarui alam pikirnya sehingga ia bisa memberikan pencerahan di
masyarakat. Inilah mengapa, rekomendasi yang menduduki urutan pertama pada
Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar pada awal Agustus kemarin adalah bahwa
perlunya membangun masyarakat dengan ilmu.
Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu tentu harus terbuka dengan
segala arus pemikiran baru dan mampu berdialektika. Dengan begitu, masyarakat
yang rasional bisa terbentuk dan dapat bertahan dalam iklim modernitas yang
terus bergempuran. Apa yang terjadi pada kehidupan keagamaan di Indonesia saat
ini –seperti isu pendirian Negara Islam, Jihad Bom, Inteloransi antar umat
beragama, politisasi agama, dsb- adalah buah dari masih kurangnya pola pikir
rasional di masyarakat Indonesia. Dan ini semakin parah bila pola pikir
rasional sudah merangsek produk hukum yang ada, yang dapat menyebabkan
kekacauan tatanan di masyarakat. Adanya diskriminasi, hingga kekerasan
struktural, dst. banyak disebabkan oleh peraturan hukum yang tidak senafas
dengan rasionalitas. Disinilah Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan harus
terus mengawal hal-hal yang memiliki implikasi dahsyat bagi masyarakat seperti
pada ranah politiko-hukum. Agenda Jihad Konsitusi yang dicanangkan oleh
Muhammadiyah merupakan satu hal, namun ada hal lain yang tak kalah pentingnya:
yakni menciptakan alternatif dari hal yang digugat Muhammadiyah. Inilah awal
tugas yang tentunya panjang bagi Muhammadiyah dalam mengawal dinamika
kebangsaan Indonesia. []
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih
0 komentar:
Posting Komentar