Selasa, 04 Oktober 2016

Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar



Bagi orang-orang yang belajar dan membaca sejarah pergerakan di Indonesia, dari era pra-kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan –dan hingga sekarang-, rasanya mustahil bila tak mengenal Muhammadiyah. Sejak awal kelahirannya, Muhammadiyah telah banyak melakukan gerakan kongkrit yang banyak membantu pengembangan Sumber Daya Manusia di Masyarakat: dimulai dari hidup sosial, ekonomi, kesehatan, keagamaan, hingga politik. Taruhlah dalam berbagai agenda kerjanya, Muhammadiyah dapat dikatakan cukup berhasil dalam me-menej gerakan amal usahanya dalam bentuk yang sangat modern dan adaptif dengan perkembangan zaman. Hal ini pun sesuai dengan tesis-nya Kuntowijoyo yang menyatakan, bahwa langkah Muhammadiyah memang sangat berhasil dalam agenda integrasi kedalam/internal: mengurusi urusan privat seperti sekolah, pengajian, kesehatan, zakat, dsb. ketimbang mengurusi agenda integrasi keluar seperti agenda-agenda politis-hukum kebangsaan. Namun nampaknya, tesis Kuntowijoyo ini pun sedang mengalami pertaruhan bahwa hingga saat ini, sudah mulai terlihat nafas yang berbeda dari Muhammadiyah dalam melakukan gerak langkah kongkritnya. Ini terlihat bagaimana Muhammadiyah di era kepemimpinan Din Syamsuddin mulai mengurusi agenda politiko-hukum kebangsaan dengan memproklamirkan “Jihad Konstitusi” dengan menggugat sejumlah Undang-undang yang dinilai Neo-Liberal.
Selain agenda politiko-hukum diatas, Muhammadiyah semenjak satu dasawarsa yang lalu sudah memulai langkah gerak isu keberagaman dan kebangsaan. Misalnya ketika Sidang Tanwir di Denpasar tahun 2002, Muhammadiyah memutuskan untuk menggunakan tagline “Dakwah Kultural” sebagai langkah dakwah kongkrit Muhammadiyah masa kini. Tanpa menghilangkan tujuan akhir dakwah Muhammadiyah –yakni Tauhidullah-, dakwah kultural merupakan metode dakwah demi merangkul umat dalam keberagaman. Dengan begini, demi memperhatikan situasi dan kondisi yang semakin berubah tiap zamannya, maka keadaan seakan “terus” memaksa Muhammadiyah agar keluar dari zona nyamannya. Zona nyaman ini tersublimasi ketika Muhammadiyah masih terlalu berkutat dalam ranah pengurusan amal usaha, yang terkadang membuat think-tank Muhammadiyah terlalu memusingkan persoalan birokratif dan manajemensi perusahaan.
Dalam beberapa tulisannya, Najib Burhani sempat melontarkan kritik yang sama, bahwa perlu ada pembaharuan dan reorientasi gerakan Muhammadiyah. Sekalipun pada mulanya Muhammadiyah itu sendiri sangat dikenal sebagai gerakan sosial, namun pada dasarnya gerakan Muhammadiyah berasal dari gerakan pemikiran. Sebagai gerakan pemikiran, maka Muhammadiyah dituntut untuk terus memperhabarui alam pikirnya sehingga ia bisa memberikan pencerahan di masyarakat. Inilah mengapa, rekomendasi yang menduduki urutan pertama pada Muktamar Muhammadiyah ke 47 di Makassar pada awal Agustus kemarin adalah bahwa perlunya membangun masyarakat dengan ilmu.
Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu tentu harus terbuka dengan segala arus pemikiran baru dan mampu berdialektika. Dengan begitu, masyarakat yang rasional bisa terbentuk dan dapat bertahan dalam iklim modernitas yang terus bergempuran. Apa yang terjadi pada kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini –seperti isu pendirian Negara Islam, Jihad Bom, Inteloransi antar umat beragama, politisasi agama, dsb- adalah buah dari masih kurangnya pola pikir rasional di masyarakat Indonesia. Dan ini semakin parah bila pola pikir rasional sudah merangsek produk hukum yang ada, yang dapat menyebabkan kekacauan tatanan di masyarakat. Adanya diskriminasi, hingga kekerasan struktural, dst. banyak disebabkan oleh peraturan hukum yang tidak senafas dengan rasionalitas. Disinilah Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan harus terus mengawal hal-hal yang memiliki implikasi dahsyat bagi masyarakat seperti pada ranah politiko-hukum. Agenda Jihad Konsitusi yang dicanangkan oleh Muhammadiyah merupakan satu hal, namun ada hal lain yang tak kalah pentingnya: yakni menciptakan alternatif dari hal yang digugat Muhammadiyah. Inilah awal tugas yang tentunya panjang bagi Muhammadiyah dalam mengawal dinamika kebangsaan Indonesia. []
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih

0 komentar:

Posting Komentar