Selasa, 04 Oktober 2016

Simpang Jalan Kebebasan Pers



Sejumlah awak redaksi Majalah Lentera Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) pada hari minggu lalu (18/10) diinterogasi oleh Kepolisian Salatiga. Hal ini disebabkan Majalah Lentera merilis produk persnya yang bertemakan tragedi nasional 1965 dan memuat cover majalah dengan foto yang berisikan lambang palu arit. Majalah yang berjudul “Salatiga Kota Merah” ini diluncurkan pada tanggal 10 Oktober 2015 dan disebar di sekitar Salatiga (tempo.co, 18/10/15). Namun sayangnya, kemudian Kepolisian Salatiga atas dasar tekanan dan desakan kelompok tertentu meminta pihak LPM dan pihak kampus untuk menarik peredaran majalah untuk dikumpulkan lalu dibakar. Dengan adanya tekanan seperti ini, tindakan Kepolisian Salatiga sudah mencederai nilai-nilai demokrasi dan reformasi Indonesia. Salah satu hal yang diperjuangkan ketika era reformasi 1998 adalah kebebasan pers. Tujuan mulia ini didasari pengalaman pers yang pahit ketika era Orde Baru, dimana pada saat itu pers dikebiri fungsinya dan tidak dapat bersuara dengan bebas.
Orde Baru menyadari bahwa Pers memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi kesadaran masyarakat. Dengan menyadari potensi kekuatan ini, akhirnya Orde Baru lebih memilih untuk membungkam siapa pun yang dianggap ‘membahayakan’ termasuk di dalamnya adalah Pers. Bahkan Dewan Pers yang fungsinya adalah mengembangkan pers dan melindungi pegiat pers, di era Orde Baru ia tak lebih sekedar kacung dari rezim. Dengan diundangkannya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, semua hal yang dianggap menghambat eksistensi dan gerak bebas Pers disingkirkan dari hukum. Undang-undang ini memberikan semangat otonomi dan kebebasan pada dunia pers Indonesia. Misalnya dalam Pasal 4 ayat (1) & Pasal 4 ayat (2) UU Pers, dinyatakan bahwa Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Selain itu, pers nasional juga tidak dikenakan penyensoran, pelarangan penyiaran dan pembredelan. Dasar hukum inilah yang menjadi jaminan kebebasan pers dalam bentuk kongkritnya.
Langkah menggembirakan pun turut mengiri iklim kebebasan pers dimana pada tahun 2010, Mahkamah Kontitusi (MK) mencabut wewenang Kejaksaan dalam membredel buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Kewenangan yang tertuang dalam UU No. 4/PNPS/1963 ini menurut MK tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Melalui landasan hukum ini, maka apa yang dilakukan oleh Kepolisian Salatiga adalah bertentangan dengan hukum. Selain tidak memiliki dasar hukum yang jelas, juga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan bebas berpendapat hingga berhak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum. Argumentasi Kepolisian Salatiga yang menyatakan bahwa penerbitan majalah tersebut tidak disertai izin-izin dan tidak sesuai perundang-undangan yang dengannya tidak layak untuk disebarluaskan secara umum tentunya tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan pasca diundangkannya UU. No. 40 tahun 1999 tentang Pers, bagi setiap orang maupun lembaga yang ingin menerbitkan produk pers tidak perlu mengantongi Surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). SIUPP itu sendiri di era Orde Baru dijadikan dasar legitimasi untuk mengkerangkeng kebebasan pers. Maka pasca reformasi, SIUPP akhirnya ditiadakan demi melaksanakan agenda kebebasan Pers. Adapun kewajiban bagi Perusahaan atau Penerbit Pers hanyalah mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Bagi Penerbitan Pers, ditambah nama dan alamat percetakan serta melaporkan datanya ke Dewan Pers. Dengan begini, maka sesungguhnya Kepolisian Salatiga tidak bisa menekan LPM Lentera untuk menarik peredaran produk persnya dengan alasan yang dibuat-buat tanpa dasar hukum yang jelas dan pasti. Kalau pun sebuah produk penerbitan ingin ditarik atau dibredel, tentunya langkah tersebut harus diiringi izin dan pembuktian dari Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bilamana Kepolisian Salatiga berkeberatan atas materi dalam Majalah Lentera karena ia mengangkat tema peristiwa tragedi 1965 dan menampilkan lambang palu arit pada covernya, alasan ini pun sama sekali tidak rasional.
Apa yang dibahas oleh Majalah Lentera hanyalah reportase dan fakta yang terjadi di lapangan. Lambang palu arit pada covernya pun hanyalah foto suasana kampanye politik di tahun 1950 yang tidak memiliki tendensi-tendensi tertentu. Bahkan bila merunut pada pendapat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang dalam press rilisnya, produk yang dikeluarkan Majalah Lentera sudah sesuai dengan standar jurnalistik yang fair. Apa yang mesti diluruskan adalah bahwa tugas Kepolisian sudah seharusnya melindungi kebebasan pers dari intimidasi siapa pun, baik dari rezim maupun sipil. Bukannya justru lemah terhadap tekanan golongan tertentu yang kemudian mengintimidasi balik terhadap awak Pers yang hendak menyuarakan aspirasi dan berita. Jika tindakan Kepolisian Salatiga yang menekan pihak LPM dan Kampus untuk membredel Majalah Lentera tanpa dasar hukum yang pasti adalah benar adanya, maka ia merupakan tindakan yang melawan hukum dan konstitusi. Selain itu, tindakan tersebut merupakan sebuah kemunduran dari reformasi dan demokrasi di Negeri ini. []
Oleh: Mustapha Ibrahim

0 komentar:

Posting Komentar