Sejumlah awak redaksi Majalah Lentera Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW) pada hari minggu lalu (18/10) diinterogasi oleh Kepolisian
Salatiga. Hal ini disebabkan Majalah Lentera merilis produk persnya yang
bertemakan tragedi nasional 1965 dan memuat cover majalah dengan foto yang
berisikan lambang palu arit. Majalah yang berjudul “Salatiga Kota Merah” ini
diluncurkan pada tanggal 10 Oktober 2015 dan disebar di sekitar Salatiga
(tempo.co, 18/10/15). Namun sayangnya, kemudian Kepolisian Salatiga atas dasar
tekanan dan desakan kelompok tertentu meminta pihak LPM dan pihak kampus untuk
menarik peredaran majalah untuk dikumpulkan lalu dibakar. Dengan adanya tekanan
seperti ini, tindakan Kepolisian Salatiga sudah mencederai nilai-nilai
demokrasi dan reformasi Indonesia. Salah satu hal yang diperjuangkan ketika era
reformasi 1998 adalah kebebasan pers. Tujuan mulia ini didasari pengalaman pers
yang pahit ketika era Orde Baru, dimana pada saat itu pers dikebiri fungsinya
dan tidak dapat bersuara dengan bebas.
Orde Baru menyadari bahwa Pers memiliki kekuatan yang besar dalam
mempengaruhi kesadaran masyarakat. Dengan menyadari potensi kekuatan ini,
akhirnya Orde Baru lebih memilih untuk membungkam siapa pun yang dianggap
‘membahayakan’ termasuk di dalamnya adalah Pers. Bahkan Dewan Pers yang
fungsinya adalah mengembangkan pers dan melindungi pegiat pers, di era Orde
Baru ia tak lebih sekedar kacung dari rezim. Dengan diundangkannya UU No. 40
tahun 1999 tentang Pers, semua hal yang dianggap menghambat eksistensi dan
gerak bebas Pers disingkirkan dari hukum. Undang-undang ini memberikan semangat
otonomi dan kebebasan pada dunia pers Indonesia. Misalnya dalam Pasal 4 ayat
(1) & Pasal 4 ayat (2) UU Pers, dinyatakan bahwa Kemerdekaan Pers dijamin
sebagai hak asasi warga negara. Selain itu, pers nasional juga tidak dikenakan
penyensoran, pelarangan penyiaran dan pembredelan. Dasar hukum inilah yang
menjadi jaminan kebebasan pers dalam bentuk kongkritnya.
Langkah menggembirakan pun turut mengiri iklim kebebasan pers
dimana pada tahun 2010, Mahkamah Kontitusi (MK) mencabut wewenang Kejaksaan
dalam membredel buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Kewenangan yang
tertuang dalam UU No. 4/PNPS/1963 ini menurut MK tidak memiliki kekuatan hukum
yang tetap dan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Melalui landasan
hukum ini, maka apa yang dilakukan oleh Kepolisian Salatiga adalah bertentangan
dengan hukum. Selain tidak memiliki dasar hukum yang jelas, juga bertentangan
dengan UUD 1945 Pasal 28 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan
bebas berpendapat hingga berhak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum.
Argumentasi Kepolisian Salatiga yang menyatakan bahwa penerbitan majalah
tersebut tidak disertai izin-izin dan tidak sesuai perundang-undangan yang
dengannya tidak layak untuk disebarluaskan secara umum tentunya tidak dapat
diterima. Hal ini dikarenakan pasca diundangkannya UU. No. 40 tahun 1999 tentang
Pers, bagi setiap orang maupun lembaga yang ingin menerbitkan produk pers tidak
perlu mengantongi Surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). SIUPP itu sendiri
di era Orde Baru dijadikan dasar legitimasi untuk mengkerangkeng kebebasan
pers. Maka pasca reformasi, SIUPP akhirnya ditiadakan demi melaksanakan agenda
kebebasan Pers. Adapun kewajiban bagi Perusahaan atau Penerbit Pers hanyalah
mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang
bersangkutan. Bagi Penerbitan Pers, ditambah nama dan alamat percetakan serta
melaporkan datanya ke Dewan Pers. Dengan begini, maka sesungguhnya Kepolisian
Salatiga tidak bisa menekan LPM Lentera untuk menarik peredaran produk persnya
dengan alasan yang dibuat-buat tanpa dasar hukum yang jelas dan pasti. Kalau
pun sebuah produk penerbitan ingin ditarik atau dibredel, tentunya langkah
tersebut harus diiringi izin dan pembuktian dari Pengadilan sebagaimana diatur
dalam Pasal 38 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Bilamana
Kepolisian Salatiga berkeberatan atas materi dalam Majalah Lentera karena ia
mengangkat tema peristiwa tragedi 1965 dan menampilkan lambang palu arit pada
covernya, alasan ini pun sama sekali tidak rasional.
Apa yang dibahas oleh Majalah Lentera hanyalah reportase dan fakta
yang terjadi di lapangan. Lambang palu arit pada covernya pun hanyalah foto
suasana kampanye politik di tahun 1950 yang tidak memiliki tendensi-tendensi
tertentu. Bahkan bila merunut pada pendapat Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Semarang dalam press rilisnya, produk yang dikeluarkan Majalah Lentera sudah
sesuai dengan standar jurnalistik yang fair. Apa yang mesti diluruskan adalah
bahwa tugas Kepolisian sudah seharusnya melindungi kebebasan pers dari
intimidasi siapa pun, baik dari rezim maupun sipil. Bukannya justru lemah
terhadap tekanan golongan tertentu yang kemudian mengintimidasi balik terhadap
awak Pers yang hendak menyuarakan aspirasi dan berita. Jika tindakan Kepolisian
Salatiga yang menekan pihak LPM dan Kampus untuk membredel Majalah Lentera
tanpa dasar hukum yang pasti adalah benar adanya, maka ia merupakan tindakan
yang melawan hukum dan konstitusi. Selain itu, tindakan tersebut merupakan
sebuah kemunduran dari reformasi dan demokrasi di Negeri ini. []
Oleh: Mustapha Ibrahim
0 komentar:
Posting Komentar