Selasa, 04 Oktober 2016

Pengantar Menuju Gagasan Islamisasi Sains dan Kampus: Studi Literatur Pemikiran AM Syaefuddin



Latar Belakang
Begitu banyaknya carut-marut dunia nasional maupun internasional hari-hari ini, merupakan bentuk dari adanya pergolakan peradaban. Apa yang terjadi hari ini, merupakan buah-hasil dari yang telah dirumuskan di masa lalu. Seperti yang diucapkan oleh John S. Brubacher dalam karyanya yang berjudul “On the Philosophy of Higher Education” juga dalam “Modern Philosophies of Education”, ia setidaknya menyebutkan bahwa pendidikan merupakan aspek yang paling krusial dalam mentransfer nilai-nilai budaya, pola pikir, dll. sehingga sebuah masyarakat dapat membentuk sebuah peradaban. Dengan begitu, maka sesungguhnya pendidikan merupakan salah satu indikator maju atau tidaknya suatu peradaban. Apabila suatu peradaban memiliki mutu pendidikan yang rendah, maka roda maupun aspek kehidupan lainnya dalam masyarakat tersebut memiliki mutu yang rendah juga. Terkhusus dalam perkembangan masyarakat Islam akhir-akhir ini, kita melihat adanya semacam gejala transkulturasi kebudayaan-nilai-nilai. Inilah yang di kemudian hari kita melihat perubahan besar-besaran kebudayaan masyarakat Islam –yang cenderung didominasi nilai-nilai ketimuran-. Namun di satu sisi, perubahan kebudayaan ini juga kerapkali menimbulkan problem moral sosial di masyarakat. Misalnya dilihat dari semangat kapitalisme yang menggejala pada masyarakat Islam, justru menimbulkan anomali lain berupa fenomena eksploitas kekayaan alam dan antar kelas masyarakat oleh golongan swasta. Parahnya lagi, di level birokrasi kepemerintahan, hal-hal yang seperti inilah yang kemudian memiliki relasinya dengan permasalahan korupsi di birokrasi –yang rata-rata berupaya untuk menggolkan proyek-proyek swasta, agar dirinya mendapatkan keuntungan-.
Para sosiolog berpendapat telah terjadi kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama terjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.[2] Melalui permasalahan inilah, perlu kiranya untuk melakukan refleksi mendalam pada dunia kependidikan saat ini.
Adalah AM Saefudin, seorang cendikiawan muslim Indonesia saat ini yang mencoba memetakan problem pendidikan kontemporer dan merumuskan jalan keluarnya. Baginya, salah satu permasalah pendidikan di Indonesia saat ini salah satunya karena permasalah epistemologi, yang dimana pendidikan di Indonesia lebih western-oriented: penghancuran nilai-nilai arif luhur lokal kolektif sekaligus penciptaan subyek-subyek liberal. Krisis identitas dan moralitas di Barat akhir-akhir ini, tentu akan menimbulkan efek domino pada masyarakat Indonesia yang mengekor pada Barat. Oleh karenanya-lah, AM Saefudin berusaha kembali menuju konsep kependidikan –melalui proyek Islamisasi Sains dan Pengetahuannya-, yang melaluinyalah generasi muda bangsa Indonesia dapat menjadi generasi muda yang dapat menjaga stabilitas kebudayaan serta masyakaratnya. II.
Rumusan Masalah Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka demi pembahasan makalah mengenai pemikiran Islamisasi sains dan kampus yang digulirkan oleh AM Saefudin, harus terlebih dahulu dipetakan beberapa problem masalahnya. Berikut adalah beberapa rumusan masalah dalam tulisan ini:
1.     Apa yang menjadi urgensi adanya Islamisasi Sains dan Kampus?
2.     Sejauhmana relevansi Islamisasi Sains dan Kampus dalam pemikiran AM Saefudin?
Maksud dan Tujuan
Sebagaimana tulisan-tulisan lainnya, dalam sebuah pembentukkan dan pemantapan wacana (discourses), sebuah kajian harus memiliki kebermaksudan dan tujuan tertentu. Hal ini sedemikian penting, agar sebuah kajian –keilmuan- yang dibahas dapat menemukan relevansinya dan berguna bagi kondisi masyarakat kekinian. Berikut adalah maksud dan tujuan dari tulisan ini:
1.     Berupaya untuk memperkenalkan gagasan baru mengenai Islamisasi Sains dan Kampus
2.     Berupaya untuk merangkumkan gagasan Islamisasi Sains dan Kampus dalam aspek praktis kesehari-harian IV.
Pembahasan
a.     Sekilas Pandang Biografi AM Saefuddin
AM Saefuddin yang memiliki nama lengkap Ahmad Muflih Saefudin dilahirkan di Desa Kudukeras, Babakan (Cirebon) pada tanggal 8 Agustus 1940. Pendidikannya ditempuh pada Madrasah Diniyah dan Sekolah Rakyat di Cirebon (1947-1953), SMP Negeri 1 di Cirebon (1953-1956) dan SPMA Negeri Bogor (1956-1959). Setelah itu, pendidikannya selama kurun 1959-1966 ia lanjutkan ke Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (yang saat ini menjadi Institut Pertanian Bogor). Kemudian setelah lulus, ia mengabdi pada almamaternya sebagai dosen, hingga akhirnya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya melalui beasiswa ke Universitas Justus Liebig di Giessen (Jerman Barat)[3].
Selain fokus dalam dunia perkuliahan-kependidikan, AM Saefuddin juga terlibat menjadi aktivis di Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), dan juga Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) semasa era Orde Lama hingga Orde Baru. Karena darah juangnya sebagai aktivis tak mau berhenti walaupun sedang di luar negeri, maka ia pun bersama teman-temannya mendirikan Youth Moslem Association in Europe (1970-1974), sekaligus menjadi anggota dan pengurus Islamische Studenten Gemeinde (ISG) di Jerman Barat.
Masa studi doktoralnya yang ia tempuh selama 4 tahun (1969-1973) berhasil ditamatkan dengan menggondol gelar Ph.D dengan predikat cumlaude. Setelah itu, ia kemudian pulang kampus menuju almamaternya (IPB) dan mengajar disana. Selama masa setelah kepulangannya dari Jerman inilah, AM Saefuddin banyak berkecimpung di berbagai bidang: entah itu di dunia kependidikan tinggi, proyek kepertanian-pangan, proyek ekonomi syariah, politik praktis, hingga berkecimpung di dunia dakwah.
Di dunia dakwah, AM Saefuddin bergabung dengan Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) bersama Mohammad Natsir juga Anwar Haryono. Melalui DDII inilah, Natsir seringkali menugaskan kepada AM Saefuddin untuk mengikuti forum-forum internasional yang membahas permasalahan dunia islam kontemporer –baik perekonomian, sosial, politik maupun budaya-, seperti Rabitah Alam Islami, Mo’tamar Alam Islami, dan Lembaga Internasional lainnya[4].
Tak berhenti di dunia dakwah, AM Saefuddin juga berkecimpung di dunia politik islam dengan bergabung pada Partai Persatuan dan Pembangunan (PPP). Melalui Partai bergambar Ka’bah ini, AM Saefuddin berusaha untuk menyuarakan aspirasi umat islam pada saat itu dalam menghadapi berbagai kebijakan Rezim Orde Baru yang seringkali menekan umat Islam Indonesia. Hingga akhirnya memasuki masa reformasi, AM Saefuddin diangkat menjadi Menteri Negara Pangan dan Hortikultura (1998-1999). Atas jasanya pada Negara, ia pun diberi penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana.
Setelah lengser dari Kabinet, dan di akhir masa tuanya kini, AM Saefuddin tetap melakukan kerja pengabdian pada masyarakat dengan aktif mengajar dan menulis di berbagai media nasional maupun jurnal-jurnal ilmiah. Tulisannya dalam bidang keislaman banyak membahas tentang Pendidikan Islam, Sains Islam, hingga Ekonomi Islam.
b.     Pemikiran-pemikiran AM Saefuddin
Soal Islamisasi Sains
Sesungguhnya konsep Islamisasi Sains terlahir dari badan kandung Islam itu sendiri. Ini dilihat dari banyaknya pesan-pesan Allah dan Rasulullah SAW yang acapkali membahas mengenai perkembangan Alam dan Sains dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini turun dalam rangka mengintegrasikan konsep Tauhidullah yang sakral dan konsep alam-fisik yang acapkali dipandang profan (duniawi). Melalui hal inilah, Al-Quran ingin membuktikan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini saling berkaitan dengan hal-hal transendental-ilahiyah. Misalnya dalam beberapa ayat Al-Quran, Allah SWT berfirman:  “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”, (QS Ali Imran (3) : 190) “Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagiorang-orang yang bertakwa”. (QS Yunus (10) : 6) “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda tanda keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Al Baqarah (2) : 164)
Ide atau gagasan Islamisasi sains muncul di dunia Islam dan menjadi wacana di kalangan intelektual muslim, sebagai hasil dari kritik sarjana muslim terhadap sifat dan waktu ilmu-ilmu alam dan sosial yang bebas nilai. Konferensi Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah pada tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977, yang salah satu tujuannya adalah untuk mendiskusikan masalah-masalah dalam Pendidikan Islam dan mencari cara-cara untuk memasukan konsep-konsep Islami serta menciptakan metodologi Islami. Di antara tokohnya adalah Naqib Alatas (akademisi dari Malaysia), Ismail Raji Al Faruqi (Akademisi Mesir kelahiran Palestina) dan lain-lain. Gagasan tersebut juga lahir sebagai akibat adanya pandangan bahwa ilmu pengetahuan (sains) produk modern tidak berhasil membawa manusia pada citra ilmu itu sendiri. Hal ini terjadi karena ilmu telah bebas nilai dan lepas dari akar transendental[5]. Misalnya apa yang terjadi di Barat, kita melihat ternyata perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disana dijadikan sarana oleh kapitalisme untuk mengeksploitasi masyarakat –antar satu kelas terhadap kelas lainnya-. Akibat pandangan bahwa sains ditaruh pada aras ‘bebas nilai’, justru sains itu sendiri menjadi rakus dan mengeksploitasi masyarakat bawah[6]. Dari sini bisa dilihat, bahwa sains di Eropa sesungguhnya tidaklah bebas nilai –dalam artian idealnya-, namun ternyata ia merefleksikan nilai-nilai masyarakat tersebut –yang justru lebih barbar ketimbang era abad pertengahan-. Maka tak salah, bila semenjak dahulu –ketika dimulainya era imperialisme bangsa Eropa-, bahwa sains diiringi dengan nilai-nilai kapitalisme juga dengan nilai imperialisme
Selain pada level sistematik basis ekonomi diatas, kita juga bisa melihat adanya invansi kebudayaan –yang termasuk di dalamnya invansi worldview- yang dilakukan oleh Barat terhadap masyarakat muda di Negara-negara Islam. Misalnya adanya banalitas budaya kampus, dimana ia telah menciptakan gaya hidup baru di kampus yang tidak ubahnya seperti shop display: yang didalamnya mahasiswa lebih senang untuk menampilkan fashion, gaya pakaian, gadget, mobil, dll. sebagai cara untuk menampilkan status dan prestise ketimbang mencari ilmu pengetahuan. Ketimbang mencari aktualisasi aktivisme sosial, mahasiswa dengan penetrasi budaya barat ini lebih mengejar melaksanakan tugas kuliah lalu mendapat nilai yang baik. Hal ini juga berdampak pada dimensi kepribadian lainnya, yakni dengan semakin menumbuhnya semangat individualisme[7]. Gaya masyarakat Timur dan Islam yang lebih kental dengan semangat kolektivismenya semakin tergerus. Alih-alih adanya nuansa kekeluargaan dalam dunia kampus, yang terjadi justru antara pemuda dan mahasiswa saling acuh. Keadaan inilah yang kemudian juga mendorong spirit individualistik-kompetitif –yang justru nilai-nilai inilah yang mengkondisikan kapitalisme untuk eksis-. Dengan demikian, konsep Islamisasi Sains berusaha menaruh kembali Sains pada nilai-nilai luhur, sehingga ia dapat memberikan kemaslahatan bagi manusia: maslahat di dunia dan di akhirat. Secara ontologi, Islamisasi sains memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial, dan historis ada hukum ciptaan Allah Swt yang disebut dengan sunnatullah . sebagai ciptaan Allah Swt, hukum tersebut tidak netral, tetapi mempunyai tujuan sesuai dengan tujuan Allah Swt yang menciptakannya[8]. Ismail Al-Faruqi menyebutkan bahwa setidaknya Islamisasi Sains memiliki prinsip dasar dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam, yaitu: Keesaan Allah SWT (tauhid), Kesatuan Penciptaan, Kesatuan kebenaran, Kesatuan Ilmu, Kesatuan kehidupan, dan Kesatuan kemanusiaan.
Seperti yang dituliskan oleh AM Saefuddin, bahwa Islamisasi Sains yang dimaksud bukanlah menyamakan –mencocokkan- begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang ada dalam Agama, namun Islamisasi Sains yang dimaksud disini adalah bahwa yang diislamkan bukanlah Sains itu sendiri, namun yang diislamkan adalah ilmuwannya, yang lebih tepatnya adalah mengislamkan dulu pandangan dunia (world view) si ilmuwan tersebut[9].
Wacana sains Islam adalah wacana yang sangat filosofis yang berakar dari pemikiran mengenai hakikat ilmu di dalam Islam. Maka ketika berbicara ilmu sains, maka disitu terkait dengan apa makna ilmu, tujuan mencari ilmu, penggolongan ilmu, makna kebenaran, tingkatan wujud (realitas), saluran-saluran ilmu, makna alam (yang satu akar kata dengan ilmu), metodologi penarikan kesimpulan, adab-adab menuntut ilmu, dan lain sebagainya. Maka proses islamisasi ilmu alam (sains) tidak lain adalah mengislamkan persoalan-persoalan di atas dengan cara meletakkannya dalam kerangka pandangan hidup Islam (Islamic Worldview)[10]. Islamisasi sains percaya, bahwa pada dasarnya semua ilmu berasal dari Allah. Namun para sarjana muslim juga berpendapat, bahwa dalam ilmu pun sesungguhnya ada pembedaan. Pembedaan ini bisa dilihat dengan adanya: Al-ilmu al-qadim (ilmu pengetahuan lama-yang diwahyukan), dan juga Al-ilmu al-hadits (ilmu pengetahuan yang baru-sains). Darisinilah menurut AM Saefuddin konsep islamisasi pengetahuan hadir: dimana antara keduanya disinkronkan dan mengakhiri kontradiksi diantara keduanya. Lebih jauh lagi, AM Saefuddin mengutip Ismail Faruqi yang menyatakan bahwa Islamisasi sains adalah membangun dan menyusun disiplin keilmuan yang dipenuhi dengan semangat religius sekaligus humanis sebaga dasar baru –dengan catatan tetap konsisten dengan nilai-nilai luhur islam-[11].
Soal Islamisasi Pendidikan/Kampus
Jika diatas kita membahas konsep terpenting dalam sains, yaitu bagaimana worldview membentuknya, maka disini perlu juga kita ulas hal yang paling penting dalam implementasi sains itu sendiri: yaitu pendidikan dan kampus. Kampus sebagai institusi memiliki peran yang legitimat dalam mengarahkan masa depan pendidikan bagi pelajar-pelajarnya. Dengan begitu, apa yang membentuk pola pikir dan karakter si pemuda di masa yang akan mendatang, kampus sebagai institusi pendidikan memiliki pengaruh dominan terhadap pemuda-pelajar tersebut. Jika kita menilik pada sejarah, salah satu buah dari kolonialisme adalah dengan adanya pendidikan sekuler[12]. Pada kala itu, pendidikan sekuler dimaksudkan untuk menghasilkan kalangan terpelajar yang dapat mengabdikan dirinya pada kepentingan kolonial –yang melepaskan dirinya dari urusan spiritualitas-. Selain itu, Pemerintah Kolonial menyadari bahwa dalam beberapa teks-teks keagamaan, banyak sekali dimensi-dimensi emansipasional yang tentunya akan mengguncang hegemoni Pemerintah Kolonial. Namun dalam perkembangannya, pendidikan sekuler yang dicanangkan ini dalam konteks perkembangan masyarakat Indonesia memiliki dampak yang sangat negatif, seperti runtuhnya nilai-nilai luhur keislaman dan keindonesiaan, hingga sulitnya masyarakat Indonesia untuk menjadi subyek yang otonom. Ini bisa dilihat dari bagaimana orientasi masyarakat Indonesia yang terbentuk: yang hidup sekedar hidup, kerja sekedar kerja, belajar sekedar belajar, dll. Inilah mengapa Buya Hamka pernah berujar: “Bila hidup sekedar hidup, kerja sekedar kerja, maka kerbau pun bisa!”. Ada pun tawaran-tawaran konseptual yang digulirkan oleh AM Saefuddin dalam Islamisasi Pendidikan-Kampus antara lain bahwa sudah seharusnya ada integralisasi antara kurikulum keislaman dan kurikulum sains murni, penanaman visi keislaman, islamisasi kurikulum, hingga islamisasi ilmu-ilmu sosial. Melalui serangkaian konsep ini, diharapkan fungsi pendidikan sebagai media kontruksi sosial yang positif dapat berjalan dengan baik, sehingga ia dapat mengatasi problem-problem keilmuan dan kehidupan sosial masa kini. Adapun jantung utama visi dari Islamisasi Pendidikan-Kampus adalah bagaimana mengkondisikan Tauhid serta Epistemologi Qurani sebagai paradigma yang inherent bagi para pelajar-pelajar di institusi pendidikan[13]. Melalui paradigma ini, maka tujuan akan adanya pendidikan dan kampus pada akhirnya demi menunaikan takdir manusia sebagai khalifatullah fil ard di dunia dan mencari ridha Allah melalui implementasi hasil dari pendidikan yang didapat dari kampus. Melalui Islamisasi pendidikan dan kampus, maka orientasi sains dapat diarahkan pada orientasi nilai-nilai. Nilai-nilai ini hanya bisa dilacak melalui metode ilmiah maupun metode profetis yang dihubungan dengan konsep segitiga piramida: Allah SWT Manusia Alam Melalui upaya ini, maka kampus dan pendidikan dapat mengutamakan sains yang berorientasikan pada kontruksi masyarakat serta peradaban menjadi yang lebih luhur[14]. Sehingga, sains pada dasarnya bukan untuk sains itu sendiri, tapi sains untuk kebenaran: yakni kebenaran dalam pengertiannya yang paling praktis: berguna dan memiliki makna positif bagi masyarakat.
Penutup
Pendidikan sebagai jantungnya peradaban merupakan sebuah premis yang tak bisa ditawar lagi. Sebagai jantungnya peradaban, maka pendidikan memiliki peran sentral dalam membentuk dan membangun sebuah masyarakat. Apa yang terjadi di masyarakat sekarang ini, merupakan buah dari pendidikan yang didapat oleh masyarakat tersebut di masa lalu. Melalui berbagai refleksi atas kegetiran yang terjadi dalam kondisi masa kini, AM Saefuddin berusaha untuk merumuskan gagasan Islamisasi Sains dan Islamisasi Kampus yang kontekstual bagi Indonesia. Dengan berbekal sejumlah rujukan dari pakar-pakar filsafat pendidikan islam kaliber dunia –dimulai dari Syed Naquib Alattas, Ismail Faruqi, dll.-, AM Saefuddin berusaha untuk mewujudkan gagasan sintesis ini baik dalam ranah konseptual atau praksis. Islamisasi Sains yang notabenenya adalah bagaimana membentuk worldview saintist yang bercorak pada nilai-nilai luhur islami, agar sains itu sendiri dapat dimanfaatkan demi pembangunan masyarakat secara positif, jauh dari nilai-nilai eksploitatif. Namun islamisasi sains ini hanya bisa terwujud bila sudah ada islamisasi pendidikan dan kampus, yang hanya melalui kedua tempat tersebut sains bisa terwujudkan.
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih
Daftar Pustaka
AM Saefuddin, “Islamisasi Sains dan Kampus”, (Jakarta: PPA Consultants, 2010) Budhy Munawar-Rachman, “Reorientasi Pembaharuan Islam”, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2010). (Edisi Pdf, 1084 Halaman) Haedar Nashir, “Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) Marwan Saridjo, “Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009) Syed Naquib Allatas, “Islam dan Sekulerisasi (terj.)”, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981) Dr. Wendi Zarman, “Islamisasi Sains: Apanya Yang Diislamkan?”, dimuat dalam kolom opini INSIST: http://insistnet.com/islamisasi-sains-apanya-yang-diislamkan/ (diakses pada 4 April 2015, 6.45 WIB) [1] Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Undip. Editor Komunitas Payung. Peneliti pada Satjipto Rahardjo Institute. Tukang rusuh di warung kopi & angkringan. [2] Haedar Nashir, “Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). Hlm. 4 [3] AM Saefuddin, “Islamisasi Sains dan Kampus”, (Jakarta: PPA Consultants, 2010), hlm. 436 [4] Ibid, hlm. 438 [5] Lihat, Marwan Saridjo, “Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 333 [6] Lebih parah lagi ketika detak jantung kapitalisme sedang berada dalam kondisi krisis, maka ia akan siap sedia memakan siapa pun –termasuk yang lemah- agar ia tetap eksis. Amerika Serikat sebagai penjaga gerbong kapitalisme di dunia melakukannya melalui invansi kebudayaan, hingga pengadaan perang –atas nama penyebaran nilai-nilai demokrasi, yang notabenenya nilai-nilai tersebut untuk mengkukuhkan hegemoni Amerika terhadap masyarakat dunia-. Dalam beberapa kurun waktu, Amerika Serikat pun sempat dilanda krisis keuangan yang menimbulkan efek domino: yang pada akhirnya Negara-negara kecil –pengekornya- terkena imbasnya. Lihat, AM Saefuddin, op.cit, hlm. 158. [7] Ibid, hlm. 180 [8] Lihat, Marwan Saridjo, op.cit, hlm. 334. [9] Hal ini penting untuk diklarifikasikan, karena worldview sebagai basis dasar dalam memandang dunia merupakan jantung inti seorang ilmuwan. Melalui pemetaan wordlview inilah, dapat kiranya dilihat kearah mana orientasi dan pengkajian si ilmuwan tersebut. Lihat, AM Saefuddin, op.cit, hlm. 10. [10] Dr. Wendi Zarman, “Islamisasi Sains: Apanya Yang Diislamkan?”, dimuat dalam kolom opini INSIST: http://insistnet.com/islamisasi-sains-apanya-yang-diislamkan/ (diakses pada 4 April 2015, 6.45 WIB) [11] Lihat, AM Saefuddin, op.cit, hlm. 222. [12] Lebih jauh lagi untuk melihat pembahasan panjang lebar mengenai sekulerisme –termasuk perkembangannya di Indonesia, bisa dilihat pada: Budhy Munawar-Rachman, “Reorientasi Pembaharuan Islam”, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2010). (Edisi Pdf, 1084 Halaman). Secara harfiah, sekular berasal dari kata saeculum, yang memiliki konotasi pada waktu dan lokasi: pada konteks waktu memiliki arti yang kekinian, pada konteks lokasi yang memiliki arti keduniawian. Lihat, Syed Naquib Allatas, “Islam dan Sekulerisasi (terj.)”, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), hlm. 18-19. Sekuler (tepatnya sekulerisme) dalam pengertiannya yang paling radikal adalah suatu gagasan yang hendak menghadirkan gagasan otonom bahwa realitas profan (duniawi) sesungguh bebas, yang karena itu tak boleh ada dualisme realitas disana –entah dalam wujud spiritualisme mistik, maupun spiritualisme keagamaan-. Gagasan sekulerisme pada dasarnya buah dari kekecewaan masyarakat Barat dalam memandang institusi kekuasaan di Eropa (yakni Raja dan Gereja) yang justru memanfaatkan kondisi kebodohan ilmu pengetahuan pada saat itu untuk mengeruk keuntungan. Sekulerisme lahir dari kekecewaan ini. Namun sayangnya, sekulerisme pada akhirnya menjadi semacam agama baru untuk mengkukuhkan hegemoni anti nilai yang berdasarkan kapitalisme. [13] AM Saefuddin, op.cit, hlm. 223 & 228. [14] Ibid, hlm. 322.

0 komentar:

Posting Komentar