Latar Belakang
Begitu banyaknya carut-marut
dunia nasional maupun internasional hari-hari ini, merupakan bentuk dari adanya
pergolakan peradaban. Apa yang terjadi hari ini, merupakan buah-hasil dari yang
telah dirumuskan di masa lalu. Seperti yang diucapkan oleh John S. Brubacher
dalam karyanya yang berjudul “On the Philosophy of Higher Education” juga dalam
“Modern Philosophies of Education”, ia setidaknya menyebutkan bahwa pendidikan
merupakan aspek yang paling krusial dalam mentransfer nilai-nilai budaya, pola
pikir, dll. sehingga sebuah masyarakat dapat membentuk sebuah peradaban. Dengan
begitu, maka sesungguhnya pendidikan merupakan salah satu indikator maju atau
tidaknya suatu peradaban. Apabila suatu peradaban memiliki mutu pendidikan yang
rendah, maka roda maupun aspek kehidupan lainnya dalam masyarakat tersebut
memiliki mutu yang rendah juga. Terkhusus dalam perkembangan masyarakat Islam
akhir-akhir ini, kita melihat adanya semacam gejala transkulturasi
kebudayaan-nilai-nilai. Inilah yang di kemudian hari kita melihat perubahan
besar-besaran kebudayaan masyarakat Islam –yang cenderung didominasi
nilai-nilai ketimuran-. Namun di satu sisi, perubahan kebudayaan ini juga
kerapkali menimbulkan problem moral sosial di masyarakat. Misalnya dilihat dari
semangat kapitalisme yang menggejala pada masyarakat Islam, justru menimbulkan
anomali lain berupa fenomena eksploitas kekayaan alam dan antar kelas masyarakat
oleh golongan swasta. Parahnya lagi, di level birokrasi kepemerintahan, hal-hal
yang seperti inilah yang kemudian memiliki relasinya dengan permasalahan
korupsi di birokrasi –yang rata-rata berupaya untuk menggolkan proyek-proyek
swasta, agar dirinya mendapatkan keuntungan-.
Para sosiolog berpendapat
telah terjadi kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan
masyarakat, pertama terjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan
motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status
dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya
kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku (normlessnes). Level
ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan
pengetahuan masyarakat. Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material
tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat
kehilangan keseimbangan.[2] Melalui permasalahan inilah, perlu kiranya untuk
melakukan refleksi mendalam pada dunia kependidikan saat ini.
Adalah AM Saefudin, seorang
cendikiawan muslim Indonesia saat ini yang mencoba memetakan problem pendidikan
kontemporer dan merumuskan jalan keluarnya. Baginya, salah satu permasalah
pendidikan di Indonesia saat ini salah satunya karena permasalah epistemologi,
yang dimana pendidikan di Indonesia lebih western-oriented: penghancuran
nilai-nilai arif luhur lokal kolektif sekaligus penciptaan subyek-subyek
liberal. Krisis identitas dan moralitas di Barat akhir-akhir ini, tentu akan
menimbulkan efek domino pada masyarakat Indonesia yang mengekor pada Barat.
Oleh karenanya-lah, AM Saefudin berusaha kembali menuju konsep kependidikan
–melalui proyek Islamisasi Sains dan Pengetahuannya-, yang melaluinyalah generasi
muda bangsa Indonesia dapat menjadi generasi muda yang dapat menjaga stabilitas
kebudayaan serta masyakaratnya. II.
Rumusan Masalah Sebagaimana
yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah diatas, maka demi pembahasan
makalah mengenai pemikiran Islamisasi sains dan kampus yang digulirkan oleh AM
Saefudin, harus terlebih dahulu dipetakan beberapa problem masalahnya. Berikut
adalah beberapa rumusan masalah dalam tulisan ini:
1. Apa yang menjadi urgensi
adanya Islamisasi Sains dan Kampus?
2. Sejauhmana relevansi
Islamisasi Sains dan Kampus dalam pemikiran AM Saefudin?
Maksud dan Tujuan
Sebagaimana tulisan-tulisan
lainnya, dalam sebuah pembentukkan dan pemantapan wacana (discourses), sebuah
kajian harus memiliki kebermaksudan dan tujuan tertentu. Hal ini sedemikian
penting, agar sebuah kajian –keilmuan- yang dibahas dapat menemukan
relevansinya dan berguna bagi kondisi masyarakat kekinian. Berikut adalah
maksud dan tujuan dari tulisan ini:
1. Berupaya untuk memperkenalkan
gagasan baru mengenai Islamisasi Sains dan Kampus
2. Berupaya untuk merangkumkan
gagasan Islamisasi Sains dan Kampus dalam aspek praktis kesehari-harian IV.
Pembahasan
a. Sekilas Pandang Biografi AM
Saefuddin
AM Saefuddin yang memiliki nama lengkap Ahmad Muflih
Saefudin dilahirkan di Desa Kudukeras, Babakan (Cirebon) pada tanggal 8 Agustus
1940. Pendidikannya ditempuh pada Madrasah Diniyah dan Sekolah Rakyat di
Cirebon (1947-1953), SMP Negeri 1 di Cirebon (1953-1956) dan SPMA Negeri Bogor
(1956-1959). Setelah itu, pendidikannya selama kurun 1959-1966 ia lanjutkan ke
Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (yang saat ini menjadi Institut
Pertanian Bogor). Kemudian setelah lulus, ia mengabdi pada almamaternya sebagai
dosen, hingga akhirnya mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya
melalui beasiswa ke Universitas Justus Liebig di Giessen (Jerman Barat)[3].
Selain fokus dalam dunia perkuliahan-kependidikan, AM
Saefuddin juga terlibat menjadi aktivis di Pelajar Islam Indonesia (PII),
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), dan
juga Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) semasa era Orde Lama hingga Orde
Baru. Karena darah juangnya sebagai aktivis tak mau berhenti walaupun sedang di
luar negeri, maka ia pun bersama teman-temannya mendirikan Youth Moslem
Association in Europe (1970-1974), sekaligus menjadi anggota dan pengurus
Islamische Studenten Gemeinde (ISG) di Jerman Barat.
Masa studi doktoralnya yang ia tempuh selama 4 tahun
(1969-1973) berhasil ditamatkan dengan menggondol gelar Ph.D dengan predikat
cumlaude. Setelah itu, ia kemudian pulang kampus menuju almamaternya (IPB) dan
mengajar disana. Selama masa setelah kepulangannya dari Jerman inilah, AM
Saefuddin banyak berkecimpung di berbagai bidang: entah itu di dunia
kependidikan tinggi, proyek kepertanian-pangan, proyek ekonomi syariah, politik
praktis, hingga berkecimpung di dunia dakwah.
Di dunia dakwah, AM Saefuddin bergabung dengan Dewan
Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII) bersama Mohammad Natsir juga Anwar Haryono.
Melalui DDII inilah, Natsir seringkali menugaskan kepada AM Saefuddin untuk
mengikuti forum-forum internasional yang membahas permasalahan dunia islam
kontemporer –baik perekonomian, sosial, politik maupun budaya-, seperti Rabitah
Alam Islami, Mo’tamar Alam Islami, dan Lembaga Internasional lainnya[4].
Tak berhenti di dunia dakwah, AM Saefuddin juga
berkecimpung di dunia politik islam dengan bergabung pada Partai Persatuan dan
Pembangunan (PPP). Melalui Partai bergambar Ka’bah ini, AM Saefuddin berusaha
untuk menyuarakan aspirasi umat islam pada saat itu dalam menghadapi berbagai
kebijakan Rezim Orde Baru yang seringkali menekan umat Islam Indonesia. Hingga
akhirnya memasuki masa reformasi, AM Saefuddin diangkat menjadi Menteri Negara
Pangan dan Hortikultura (1998-1999). Atas jasanya pada Negara, ia pun diberi
penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana.
Setelah lengser dari Kabinet, dan di akhir masa tuanya
kini, AM Saefuddin tetap melakukan kerja pengabdian pada masyarakat dengan
aktif mengajar dan menulis di berbagai media nasional maupun jurnal-jurnal
ilmiah. Tulisannya dalam bidang keislaman banyak membahas tentang Pendidikan
Islam, Sains Islam, hingga Ekonomi Islam.
b. Pemikiran-pemikiran AM
Saefuddin
Soal Islamisasi Sains
Sesungguhnya konsep Islamisasi Sains terlahir dari
badan kandung Islam itu sendiri. Ini dilihat dari banyaknya pesan-pesan Allah
dan Rasulullah SAW yang acapkali membahas mengenai perkembangan Alam dan Sains
dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini turun dalam rangka mengintegrasikan konsep
Tauhidullah yang sakral dan konsep alam-fisik yang acapkali dipandang profan
(duniawi). Melalui hal inilah, Al-Quran ingin membuktikan bahwa segala sesuatu
yang ada di dunia ini saling berkaitan dengan hal-hal transendental-ilahiyah.
Misalnya dalam beberapa ayat Al-Quran, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”, (QS Ali Imran (3) : 190)
“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan
Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya)
bagiorang-orang yang bertakwa”. (QS Yunus (10) : 6) “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang
berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh
(terdapat) tanda tanda keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”
(QS. Al Baqarah (2) : 164)
Ide atau gagasan Islamisasi sains muncul di dunia Islam
dan menjadi wacana di kalangan intelektual muslim, sebagai hasil dari kritik
sarjana muslim terhadap sifat dan waktu ilmu-ilmu alam dan sosial yang bebas
nilai. Konferensi Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah pada
tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977, yang salah satu tujuannya adalah
untuk mendiskusikan masalah-masalah dalam Pendidikan Islam dan mencari
cara-cara untuk memasukan konsep-konsep Islami serta menciptakan metodologi
Islami. Di antara tokohnya adalah Naqib Alatas (akademisi dari Malaysia),
Ismail Raji Al Faruqi (Akademisi Mesir kelahiran Palestina) dan lain-lain.
Gagasan tersebut juga lahir sebagai akibat adanya pandangan bahwa ilmu
pengetahuan (sains) produk modern tidak berhasil membawa manusia pada citra
ilmu itu sendiri. Hal ini terjadi karena ilmu telah bebas nilai dan lepas dari
akar transendental[5]. Misalnya apa yang terjadi di Barat, kita melihat
ternyata perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disana dijadikan sarana
oleh kapitalisme untuk mengeksploitasi masyarakat –antar satu kelas terhadap
kelas lainnya-. Akibat pandangan bahwa sains ditaruh pada aras ‘bebas nilai’,
justru sains itu sendiri menjadi rakus dan mengeksploitasi masyarakat bawah[6].
Dari sini bisa dilihat, bahwa sains di Eropa sesungguhnya tidaklah bebas nilai
–dalam artian idealnya-, namun ternyata ia merefleksikan nilai-nilai masyarakat
tersebut –yang justru lebih barbar ketimbang era abad pertengahan-. Maka tak
salah, bila semenjak dahulu –ketika dimulainya era imperialisme bangsa Eropa-,
bahwa sains diiringi dengan nilai-nilai kapitalisme juga dengan nilai
imperialisme
Selain pada level sistematik basis ekonomi diatas, kita
juga bisa melihat adanya invansi kebudayaan –yang termasuk di dalamnya invansi
worldview- yang dilakukan oleh Barat terhadap masyarakat muda di Negara-negara
Islam. Misalnya adanya banalitas budaya kampus, dimana ia telah menciptakan
gaya hidup baru di kampus yang tidak ubahnya seperti shop display: yang
didalamnya mahasiswa lebih senang untuk menampilkan fashion, gaya pakaian,
gadget, mobil, dll. sebagai cara untuk menampilkan status dan prestise
ketimbang mencari ilmu pengetahuan. Ketimbang mencari aktualisasi aktivisme
sosial, mahasiswa dengan penetrasi budaya barat ini lebih mengejar melaksanakan
tugas kuliah lalu mendapat nilai yang baik. Hal ini juga berdampak pada dimensi
kepribadian lainnya, yakni dengan semakin menumbuhnya semangat
individualisme[7]. Gaya masyarakat Timur dan Islam yang lebih kental dengan
semangat kolektivismenya semakin tergerus. Alih-alih adanya nuansa kekeluargaan
dalam dunia kampus, yang terjadi justru antara pemuda dan mahasiswa saling
acuh. Keadaan inilah yang kemudian juga mendorong spirit
individualistik-kompetitif –yang justru nilai-nilai inilah yang mengkondisikan
kapitalisme untuk eksis-. Dengan demikian, konsep Islamisasi Sains berusaha
menaruh kembali Sains pada nilai-nilai luhur, sehingga ia dapat memberikan
kemaslahatan bagi manusia: maslahat di dunia dan di akhirat. Secara ontologi,
Islamisasi sains memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial,
dan historis ada hukum ciptaan Allah Swt yang disebut dengan sunnatullah .
sebagai ciptaan Allah Swt, hukum tersebut tidak netral, tetapi mempunyai tujuan
sesuai dengan tujuan Allah Swt yang menciptakannya[8]. Ismail Al-Faruqi
menyebutkan bahwa setidaknya Islamisasi Sains memiliki prinsip dasar dalam
pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam,
yaitu: Keesaan Allah SWT (tauhid), Kesatuan Penciptaan, Kesatuan kebenaran,
Kesatuan Ilmu, Kesatuan kehidupan, dan Kesatuan kemanusiaan.
Seperti yang dituliskan oleh AM Saefuddin, bahwa
Islamisasi Sains yang dimaksud bukanlah menyamakan –mencocokkan- begitu saja
konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang ada dalam Agama, namun Islamisasi
Sains yang dimaksud disini adalah bahwa yang diislamkan bukanlah Sains itu
sendiri, namun yang diislamkan adalah ilmuwannya, yang lebih tepatnya adalah
mengislamkan dulu pandangan dunia (world view) si ilmuwan tersebut[9].
Wacana sains Islam adalah wacana yang sangat filosofis
yang berakar dari pemikiran mengenai hakikat ilmu di dalam Islam. Maka ketika
berbicara ilmu sains, maka disitu terkait dengan apa makna ilmu, tujuan mencari
ilmu, penggolongan ilmu, makna kebenaran, tingkatan wujud (realitas),
saluran-saluran ilmu, makna alam (yang satu akar kata dengan ilmu), metodologi
penarikan kesimpulan, adab-adab menuntut ilmu, dan lain sebagainya. Maka proses
islamisasi ilmu alam (sains) tidak lain adalah mengislamkan persoalan-persoalan
di atas dengan cara meletakkannya dalam kerangka pandangan hidup Islam (Islamic
Worldview)[10]. Islamisasi sains percaya, bahwa pada dasarnya semua ilmu
berasal dari Allah. Namun para sarjana muslim juga berpendapat, bahwa dalam
ilmu pun sesungguhnya ada pembedaan. Pembedaan ini bisa dilihat dengan adanya:
Al-ilmu al-qadim (ilmu pengetahuan lama-yang diwahyukan), dan juga Al-ilmu al-hadits
(ilmu pengetahuan yang baru-sains). Darisinilah menurut AM Saefuddin konsep
islamisasi pengetahuan hadir: dimana antara keduanya disinkronkan dan
mengakhiri kontradiksi diantara keduanya. Lebih jauh lagi, AM Saefuddin
mengutip Ismail Faruqi yang menyatakan bahwa Islamisasi sains adalah membangun
dan menyusun disiplin keilmuan yang dipenuhi dengan semangat religius sekaligus
humanis sebaga dasar baru –dengan catatan tetap konsisten dengan nilai-nilai
luhur islam-[11].
Soal Islamisasi Pendidikan/Kampus
Jika diatas kita membahas konsep terpenting dalam
sains, yaitu bagaimana worldview membentuknya, maka disini perlu juga kita ulas
hal yang paling penting dalam implementasi sains itu sendiri: yaitu pendidikan
dan kampus. Kampus sebagai institusi memiliki peran yang legitimat dalam
mengarahkan masa depan pendidikan bagi pelajar-pelajarnya. Dengan begitu, apa
yang membentuk pola pikir dan karakter si pemuda di masa yang akan mendatang,
kampus sebagai institusi pendidikan memiliki pengaruh dominan terhadap
pemuda-pelajar tersebut. Jika kita menilik pada sejarah, salah satu buah dari
kolonialisme adalah dengan adanya pendidikan sekuler[12]. Pada kala itu,
pendidikan sekuler dimaksudkan untuk menghasilkan kalangan terpelajar yang
dapat mengabdikan dirinya pada kepentingan kolonial –yang melepaskan dirinya
dari urusan spiritualitas-. Selain itu, Pemerintah Kolonial menyadari bahwa
dalam beberapa teks-teks keagamaan, banyak sekali dimensi-dimensi
emansipasional yang tentunya akan mengguncang hegemoni Pemerintah Kolonial.
Namun dalam perkembangannya, pendidikan sekuler yang dicanangkan ini dalam
konteks perkembangan masyarakat Indonesia memiliki dampak yang sangat negatif,
seperti runtuhnya nilai-nilai luhur keislaman dan keindonesiaan, hingga
sulitnya masyarakat Indonesia untuk menjadi subyek yang otonom. Ini bisa
dilihat dari bagaimana orientasi masyarakat Indonesia yang terbentuk: yang
hidup sekedar hidup, kerja sekedar kerja, belajar sekedar belajar, dll. Inilah
mengapa Buya Hamka pernah berujar: “Bila hidup sekedar hidup, kerja sekedar
kerja, maka kerbau pun bisa!”. Ada pun tawaran-tawaran konseptual yang
digulirkan oleh AM Saefuddin dalam Islamisasi Pendidikan-Kampus antara lain
bahwa sudah seharusnya ada integralisasi antara kurikulum keislaman dan
kurikulum sains murni, penanaman visi keislaman, islamisasi kurikulum, hingga
islamisasi ilmu-ilmu sosial. Melalui serangkaian konsep ini, diharapkan fungsi
pendidikan sebagai media kontruksi sosial yang positif dapat berjalan dengan
baik, sehingga ia dapat mengatasi problem-problem keilmuan dan kehidupan sosial
masa kini. Adapun jantung utama visi dari Islamisasi Pendidikan-Kampus adalah
bagaimana mengkondisikan Tauhid serta Epistemologi Qurani sebagai paradigma
yang inherent bagi para pelajar-pelajar di institusi pendidikan[13]. Melalui
paradigma ini, maka tujuan akan adanya pendidikan dan kampus pada akhirnya demi
menunaikan takdir manusia sebagai khalifatullah fil ard di dunia dan mencari
ridha Allah melalui implementasi hasil dari pendidikan yang didapat dari kampus.
Melalui Islamisasi pendidikan dan kampus, maka orientasi sains dapat diarahkan
pada orientasi nilai-nilai. Nilai-nilai ini hanya bisa dilacak melalui metode
ilmiah maupun metode profetis yang dihubungan dengan konsep segitiga piramida:
Allah SWT Manusia Alam Melalui upaya ini, maka kampus dan pendidikan dapat
mengutamakan sains yang berorientasikan pada kontruksi masyarakat serta
peradaban menjadi yang lebih luhur[14]. Sehingga, sains pada dasarnya bukan
untuk sains itu sendiri, tapi sains untuk kebenaran: yakni kebenaran dalam
pengertiannya yang paling praktis: berguna dan memiliki makna positif bagi
masyarakat.
Penutup
Pendidikan sebagai jantungnya
peradaban merupakan sebuah premis yang tak bisa ditawar lagi. Sebagai
jantungnya peradaban, maka pendidikan memiliki peran sentral dalam membentuk
dan membangun sebuah masyarakat. Apa yang terjadi di masyarakat sekarang ini,
merupakan buah dari pendidikan yang didapat oleh masyarakat tersebut di masa
lalu. Melalui berbagai refleksi atas kegetiran yang terjadi dalam kondisi masa
kini, AM Saefuddin berusaha untuk merumuskan gagasan Islamisasi Sains dan
Islamisasi Kampus yang kontekstual bagi Indonesia. Dengan berbekal sejumlah
rujukan dari pakar-pakar filsafat pendidikan islam kaliber dunia –dimulai dari
Syed Naquib Alattas, Ismail Faruqi, dll.-, AM Saefuddin berusaha untuk
mewujudkan gagasan sintesis ini baik dalam ranah konseptual atau praksis.
Islamisasi Sains yang notabenenya adalah bagaimana membentuk worldview saintist
yang bercorak pada nilai-nilai luhur islami, agar sains itu sendiri dapat
dimanfaatkan demi pembangunan masyarakat secara positif, jauh dari nilai-nilai
eksploitatif. Namun islamisasi sains ini hanya bisa terwujud bila sudah ada
islamisasi pendidikan dan kampus, yang hanya melalui kedua tempat tersebut
sains bisa terwujudkan.
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih
Daftar Pustaka
AM Saefuddin, “Islamisasi Sains dan Kampus”, (Jakarta:
PPA Consultants, 2010) Budhy Munawar-Rachman, “Reorientasi Pembaharuan Islam”,
(Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2010). (Edisi Pdf, 1084 Halaman) Haedar
Nashir, “Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997) Marwan Saridjo, “Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai”,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009) Syed Naquib Allatas, “Islam dan
Sekulerisasi (terj.)”, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981) Dr. Wendi Zarman,
“Islamisasi Sains: Apanya Yang Diislamkan?”, dimuat dalam kolom opini INSIST:
http://insistnet.com/islamisasi-sains-apanya-yang-diislamkan/ (diakses pada 4
April 2015, 6.45 WIB) [1] Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Undip. Editor Komunitas
Payung. Peneliti pada Satjipto Rahardjo Institute. Tukang rusuh di warung kopi
& angkringan. [2] Haedar Nashir, “Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). Hlm. 4 [3] AM Saefuddin, “Islamisasi Sains
dan Kampus”, (Jakarta: PPA Consultants, 2010), hlm. 436 [4] Ibid, hlm. 438 [5]
Lihat, Marwan Saridjo, “Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai”,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 333 [6] Lebih parah lagi ketika
detak jantung kapitalisme sedang berada dalam kondisi krisis, maka ia akan siap
sedia memakan siapa pun –termasuk yang lemah- agar ia tetap eksis. Amerika
Serikat sebagai penjaga gerbong kapitalisme di dunia melakukannya melalui
invansi kebudayaan, hingga pengadaan perang –atas nama penyebaran nilai-nilai
demokrasi, yang notabenenya nilai-nilai tersebut untuk mengkukuhkan hegemoni
Amerika terhadap masyarakat dunia-. Dalam beberapa kurun waktu, Amerika Serikat
pun sempat dilanda krisis keuangan yang menimbulkan efek domino: yang pada
akhirnya Negara-negara kecil –pengekornya- terkena imbasnya. Lihat, AM
Saefuddin, op.cit, hlm. 158. [7] Ibid, hlm. 180 [8] Lihat, Marwan Saridjo,
op.cit, hlm. 334. [9] Hal ini penting untuk diklarifikasikan, karena worldview
sebagai basis dasar dalam memandang dunia merupakan jantung inti seorang
ilmuwan. Melalui pemetaan wordlview inilah, dapat kiranya dilihat kearah mana
orientasi dan pengkajian si ilmuwan tersebut. Lihat, AM Saefuddin, op.cit, hlm.
10. [10] Dr. Wendi Zarman, “Islamisasi Sains: Apanya Yang Diislamkan?”, dimuat
dalam kolom opini INSIST:
http://insistnet.com/islamisasi-sains-apanya-yang-diislamkan/ (diakses pada 4
April 2015, 6.45 WIB) [11] Lihat, AM Saefuddin, op.cit, hlm. 222. [12] Lebih
jauh lagi untuk melihat pembahasan panjang lebar mengenai sekulerisme –termasuk
perkembangannya di Indonesia, bisa dilihat pada: Budhy Munawar-Rachman,
“Reorientasi Pembaharuan Islam”, (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2010).
(Edisi Pdf, 1084 Halaman). Secara harfiah, sekular berasal dari kata saeculum,
yang memiliki konotasi pada waktu dan lokasi: pada konteks waktu memiliki arti
yang kekinian, pada konteks lokasi yang memiliki arti keduniawian. Lihat, Syed
Naquib Allatas, “Islam dan Sekulerisasi (terj.)”, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1981), hlm. 18-19. Sekuler (tepatnya sekulerisme) dalam pengertiannya yang
paling radikal adalah suatu gagasan yang hendak menghadirkan gagasan otonom
bahwa realitas profan (duniawi) sesungguh bebas, yang karena itu tak boleh ada
dualisme realitas disana –entah dalam wujud spiritualisme mistik, maupun
spiritualisme keagamaan-. Gagasan sekulerisme pada dasarnya buah dari
kekecewaan masyarakat Barat dalam memandang institusi kekuasaan di Eropa (yakni
Raja dan Gereja) yang justru memanfaatkan kondisi kebodohan ilmu pengetahuan
pada saat itu untuk mengeruk keuntungan. Sekulerisme lahir dari kekecewaan ini.
Namun sayangnya, sekulerisme pada akhirnya menjadi semacam agama baru untuk
mengkukuhkan hegemoni anti nilai yang berdasarkan kapitalisme. [13] AM
Saefuddin, op.cit, hlm. 223 & 228. [14] Ibid, hlm. 322.
0 komentar:
Posting Komentar