Belakangan ini seperti yang diedarkan oleh berita-berita di media,
kita menyaksikan berbagai problematika yang tak kunjung habisnya –dan malah
semakin bertambah banyak. Sebut saja kenaikan beberapa bahan pokok komoditas
konsumsi, nilai tukar kurs rupiah dengan dollar yang semakin jatuh, hingga
persoalan sengketa lahan. Namun dari sekian problem diatas, adalah persoalan
sengketa lahan yang kiranya semenjak dahulu kala hingga sekarang menjadi
persoalan yang tiada habisnya. Bila zaman dahulu kala, persoalan sengketa lahan
sudah mengendap sedemikian rupa karena lahan masyarakat Indonesia nyatanya
menjadi wilayah jajahan Pemerintah Kolonial, namun sekarang yang terjadi adalah
lahan menjadi rebutan antara warga Indonesia. Meskipun sama-sama warga
Indonesia, akan tetapi pada pola konflik lahan sekarang, ada status dan
kedudukan berbeda diantara kedua pihak yang bersengketa. Yang satu memiliki
posisi sebagai warga sipil yang tak memiliki kuasa, namun yang satu lainnya
memiliki modal kekuatan kekuasaan. Entah itu dari kalangan pebisnis, politisi,
maupun dari militer. Tidak imbangnya posisi antar subyek yang saling
bersengketa inilah, yang dikemudian hari acap kali persengketaan banyak
menimbulkan kerugian: baik itu materiil, non-materiil, hingga menyangkut nyawa
manusia.
Tentunya kita belum lupa dengan kasus terbunuhnya Salim Kancil,
sang pejuang tani yang nyawanya diregang belur karena dihabisi dengan cara
dikeroyok dan disiksa ramai-ramai oleh sejumlah preman –kisaran 40 orang- yang
notabenenya mereka adalah orang-orang suruhan Pengusaha tambang pasir besi
sekitar. Lebih miris lagi, ternyata sang Kepala Desa tempat Salim Kancil
tinggal merupakan sekongkolan Pengusaha tersebut. Juga dengan apa yang terjadi
di Urut Sewu, Kebumen. Disana kita dapat melihat, betapa tanah-tanah warga yang
sudah diwariskan turun-temurun dari leluhur mereka, diokupasi oleh pihak
Militer. Bahkan Militer disana justru memanfaatkannya dengan mengambil
keuntungan dari bisnis-kontrak tambang pasir oleh sebuah perusahaan. Akibatnya,
banyak warga yang tak bisa menjalankan aktifitas ekonomi dalam pengelolaan
lahan, yang bahkan sebagian warga disana terkena tindakan kekerasan oleh aparat
militer. Inilah mengapa, bila konstitusi kita yang tertuang dalam UUD NRI 1945
–terutama dalam Pasal 28, beserta poin-poinnya pasca amandemen 4- banyak
menjamin terkait hak asasi warga negara, namun pada kenyataannya, hak asasi itu
tidak berlaku dihadapan kedaulatan kekuasaan dan kapital. Ketidakseimbangan
power inilah yang kemudian seringkali banyak menimbulkan penyalahgunaan hak
serta berdampak kerugian bagi yang lain. Sesungguhnya disinilah letak titik
problemnya: bahwa tahapan ideal yang dicantumkan dalam Pasal 28 UUD NRI 1945
bukanlah sesuatu yang terberi dan dapat mudah didapat dengan sendirinya. Perlu
ada perjuangan ekstra untuk meraihnya, dan ini mesti dimulai melalui tata-pola
pengorganisasian ekonomi politik yang sistemik. Dan sebenarnya, tata pola
pengorganisasian ekonomi politik sudah dimulai semenjak dicanangkannya UU No. 5
Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Peraturan Agraria (UUPA). Undang-undang tersebut
mempunyai cita hukum yang mendasar: bahwa pada dasarnya, tanah sebagai ruang
untuk hidup mesti digunakan demi kesejahteraan rakyat dan berdasarkan pada
prinsip kolektifisme / komunal / kebersamaan.
Seiring perjalanannya –dengan perubahan peta konfigurasi politik
hukum di ranah legislatif-, ternyata pada produk-produk hukum turunan terkait
persoalan lahan dll. banyak yang menyimpang dari cita dan prinsip hukum yang
hendak diwujudkan oleh UUPA. Banyak dari Peraturan Perundang-undangan turunan
yang justru bertolak belakang dari kepentingan rakyat banyak, yang justru
menguntungkan penguasan dan pemodal. Konfigurasi politik di ranah legislasi ini
jugalah yang kemudian menjadi problem tersendiri juga, dimana banyak sekali
dari perumus Undang-undang yang tidak memiliki kesadaran ideologis yang
militan. Banyak sekali dari mereka yang mudah digiurkan oleh sejumlah uang demi
meloloskan izin hingga peraturan perundang-undangan yang hanya menguntung
segelintir individu penghisap hak rakyat banyak. Akibat dari problem yang
berlipat ini, persoalan konflik agraria menjadi semakin banyak dan terus
bertambah dari tahun ke tahun. Bila merunut pada data yang dikeluarkan oleh
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), konflik agraria sepanjang tahun 2014
berjumlah 472 kasus. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan tahun 2013 yang
dimana menurut KPA, ada sekitar 369 kasus konflik agraria yang terjadi. Selain
persoalan ruang hidup yang terancam, juga persoalan nyawa dan kualitas hidup
serta tubuh yang menjadi jaminan ketika ada sebuah konflik lahan.
Persoalan konflik lahan tak akan pernah selesai –terutama yang
terindikasi ada bentrok fisik dan kekerasan- walaupun kasus-kasus tersebut
diselesaikan lewat jalur pengadilan. Mesti ada tindakan kongkrit dan cepat dari
Pemerintah Indonesia dalam membereskan serta mensistemikkan Peraturan
Perundang-undangan terkait Agraria. Pada akhirnya, tanah dan lahan merupakan
soal hidup dan mati seorang manusia. Bila ia dicerabut dengan sewenang-wenang,
maka sesungguhnya sudah terjadi sebuah penjajahan. Inilah yang di kemudian hari
Bung Karno selalu mewanti-wanti, bahwa perjuangan bangsa Indonesia belumlah
selesai, karena mesti melawan oknum bangsanya sendiri yang cenderung egoistis.
[]
Oleh: M.
Rasyid Ridha Saragih
0 komentar:
Posting Komentar