Selasa, 04 Oktober 2016

Persoalan Agraria & Hak Konstitusional Atas Ruang Hidup



Belakangan ini seperti yang diedarkan oleh berita-berita di media, kita menyaksikan berbagai problematika yang tak kunjung habisnya –dan malah semakin bertambah banyak. Sebut saja kenaikan beberapa bahan pokok komoditas konsumsi, nilai tukar kurs rupiah dengan dollar yang semakin jatuh, hingga persoalan sengketa lahan. Namun dari sekian problem diatas, adalah persoalan sengketa lahan yang kiranya semenjak dahulu kala hingga sekarang menjadi persoalan yang tiada habisnya. Bila zaman dahulu kala, persoalan sengketa lahan sudah mengendap sedemikian rupa karena lahan masyarakat Indonesia nyatanya menjadi wilayah jajahan Pemerintah Kolonial, namun sekarang yang terjadi adalah lahan menjadi rebutan antara warga Indonesia. Meskipun sama-sama warga Indonesia, akan tetapi pada pola konflik lahan sekarang, ada status dan kedudukan berbeda diantara kedua pihak yang bersengketa. Yang satu memiliki posisi sebagai warga sipil yang tak memiliki kuasa, namun yang satu lainnya memiliki modal kekuatan kekuasaan. Entah itu dari kalangan pebisnis, politisi, maupun dari militer. Tidak imbangnya posisi antar subyek yang saling bersengketa inilah, yang dikemudian hari acap kali persengketaan banyak menimbulkan kerugian: baik itu materiil, non-materiil, hingga menyangkut nyawa manusia.
Tentunya kita belum lupa dengan kasus terbunuhnya Salim Kancil, sang pejuang tani yang nyawanya diregang belur karena dihabisi dengan cara dikeroyok dan disiksa ramai-ramai oleh sejumlah preman –kisaran 40 orang- yang notabenenya mereka adalah orang-orang suruhan Pengusaha tambang pasir besi sekitar. Lebih miris lagi, ternyata sang Kepala Desa tempat Salim Kancil tinggal merupakan sekongkolan Pengusaha tersebut. Juga dengan apa yang terjadi di Urut Sewu, Kebumen. Disana kita dapat melihat, betapa tanah-tanah warga yang sudah diwariskan turun-temurun dari leluhur mereka, diokupasi oleh pihak Militer. Bahkan Militer disana justru memanfaatkannya dengan mengambil keuntungan dari bisnis-kontrak tambang pasir oleh sebuah perusahaan. Akibatnya, banyak warga yang tak bisa menjalankan aktifitas ekonomi dalam pengelolaan lahan, yang bahkan sebagian warga disana terkena tindakan kekerasan oleh aparat militer. Inilah mengapa, bila konstitusi kita yang tertuang dalam UUD NRI 1945 –terutama dalam Pasal 28, beserta poin-poinnya pasca amandemen 4- banyak menjamin terkait hak asasi warga negara, namun pada kenyataannya, hak asasi itu tidak berlaku dihadapan kedaulatan kekuasaan dan kapital. Ketidakseimbangan power inilah yang kemudian seringkali banyak menimbulkan penyalahgunaan hak serta berdampak kerugian bagi yang lain. Sesungguhnya disinilah letak titik problemnya: bahwa tahapan ideal yang dicantumkan dalam Pasal 28 UUD NRI 1945 bukanlah sesuatu yang terberi dan dapat mudah didapat dengan sendirinya. Perlu ada perjuangan ekstra untuk meraihnya, dan ini mesti dimulai melalui tata-pola pengorganisasian ekonomi politik yang sistemik. Dan sebenarnya, tata pola pengorganisasian ekonomi politik sudah dimulai semenjak dicanangkannya UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Peraturan Agraria (UUPA). Undang-undang tersebut mempunyai cita hukum yang mendasar: bahwa pada dasarnya, tanah sebagai ruang untuk hidup mesti digunakan demi kesejahteraan rakyat dan berdasarkan pada prinsip kolektifisme / komunal / kebersamaan.
Seiring perjalanannya –dengan perubahan peta konfigurasi politik hukum di ranah legislatif-, ternyata pada produk-produk hukum turunan terkait persoalan lahan dll. banyak yang menyimpang dari cita dan prinsip hukum yang hendak diwujudkan oleh UUPA. Banyak dari Peraturan Perundang-undangan turunan yang justru bertolak belakang dari kepentingan rakyat banyak, yang justru menguntungkan penguasan dan pemodal. Konfigurasi politik di ranah legislasi ini jugalah yang kemudian menjadi problem tersendiri juga, dimana banyak sekali dari perumus Undang-undang yang tidak memiliki kesadaran ideologis yang militan. Banyak sekali dari mereka yang mudah digiurkan oleh sejumlah uang demi meloloskan izin hingga peraturan perundang-undangan yang hanya menguntung segelintir individu penghisap hak rakyat banyak. Akibat dari problem yang berlipat ini, persoalan konflik agraria menjadi semakin banyak dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Bila merunut pada data yang dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), konflik agraria sepanjang tahun 2014 berjumlah 472 kasus. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan tahun 2013 yang dimana menurut KPA, ada sekitar 369 kasus konflik agraria yang terjadi. Selain persoalan ruang hidup yang terancam, juga persoalan nyawa dan kualitas hidup serta tubuh yang menjadi jaminan ketika ada sebuah konflik lahan.
Persoalan konflik lahan tak akan pernah selesai –terutama yang terindikasi ada bentrok fisik dan kekerasan- walaupun kasus-kasus tersebut diselesaikan lewat jalur pengadilan. Mesti ada tindakan kongkrit dan cepat dari Pemerintah Indonesia dalam membereskan serta mensistemikkan Peraturan Perundang-undangan terkait Agraria. Pada akhirnya, tanah dan lahan merupakan soal hidup dan mati seorang manusia. Bila ia dicerabut dengan sewenang-wenang, maka sesungguhnya sudah terjadi sebuah penjajahan. Inilah yang di kemudian hari Bung Karno selalu mewanti-wanti, bahwa perjuangan bangsa Indonesia belumlah selesai, karena mesti melawan oknum bangsanya sendiri yang cenderung egoistis. []
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih

0 komentar:

Posting Komentar