Selasa, 04 Oktober 2016

Pembuktian ‘baka’ Thomas dan Tan Malaka



“Dunia fana ini saja belum banyak kita ketahui, apalagi dunia baka” ungkapan ini cocok untuk mengawali semangat pembuktian Thomas dan Tan. Dua generasi yang terpisahenam abad ini berupaya menjawab pertanyaan purba seputar ‘baka’. Pencarian definisi ini sangat menarik. Mengingat dalam setiap zaman, kehidupan keagamaan selalu beraneka ragam, bervariasi dan bahkan bertentangan. Pencarian definisi memunculkan jalur untuk mencapai kesolehan yang beragam. Menggarisbawahi tren tertentu ‘apo-fetik’ yang sangat relevan bagi kehidupan beragama kita saat ini, merupakan salah satu alur kesolehan Abad Pertengahan. Cara sepertiini di dukung oleh beberapa pemikir dan pemimpin spiritual, salah satunya Thomas Aquinas (1225-1274). Di Paris melalui gurunya Albertus Agung (1200-1280) Thomas meneruskan kedudukannya sebagai penyerap rasionalisme Aristotelian. Di usia tiga puluh-an Thomas menjadi seseorang yang terbuka terhadap perubahan ide-ide baru. Dia mengutip filsuf Arab dan Yahudi ketika di zamnnya masih komitmen dengan penginjilan.
Hari berganti, iklim intelektual yang berubah membuat para teolog menjadi berhati-hati terhadap yang di sebut intelek. Namun tidak dengan Thomas, ia dengan berani memberi pernyataan positif afirmatif tentang Tuhan. Sebab menurutnya sikap afirmatif dan keheningan penolakan sama-sama penting untuk bicara soal Tuhan. Menurutnya Allah adalah sumber dari segala sesuatu yang ada, sehingga segala mahluk yang dibuat dapat memberitahu kita tentang diriNya. Dibolehkan juga memanfaatkan logika tapi dengan syarat. Setiap kali teolog membuat pernyataan tentang Allah, dia harus menyadari pernyataan itu pasti tidak memadai. Ketika kita merenung tentang Allah, pikiran akan tidak sanggup menjangkaunya. Setiap kali berbicara tentang Allah, kita bicara tentang apa yang tidak terkandung oleh kata-kata. Dengan keterbatasan kata dan konsep, kita harus membuat pembicaraan ini menjadi diam dan terpesona. Ketika nalar dimasukan ke dalam Iman. Ia harus menunjukan apa yang di sebut sebagai Allah berada di luar jangkauan pikiran manusia. Jika tidak demikian pernyataan-pernyataan tentang Tuhan akan menghasilkan pemberhalaan. Wahyu ilahi menegaskan tugasnya untuk membuat kita menyadari bahwa Allah tidak dapat diketahui.
Thomas menjelaskan pengetahuan tertinggi manusia adalah mengetahui bahwa kita tidak mengetahui Dia. Gagasan Thomas ini dapat dianggap sebagai kampanye melawan kencenderungan menjinakkan transendensi ilahi. Dalam karyanya paling terkenal Summa Theolohiae dia memualai pertanyaan paling mendasar dari semuannya: Apakah Allah itu ada?, Thomas percaya harus ada bukti untuk menjelaskan hal yang bukan sekedar keimanan dan pengetahuan bawaan. Pembuktian itu adalah hal yang lebih jelas atau yang di sebut sebagai efek Allah. Sebelum Thomas menyampaikan bukti-buktinya, Thomas berkata kepada murid-muridnya bahwa pengetahuan tentang Allah mutlak tidak mungkin, kita tidak dapat menentukan apa gerangan yang sedang kita buktikan. Kita tidak bisa memikirkan dengan cara bagaimana Allah ada, kecuali seperti apa yang bukan Dia. Pertama, kita harus bertanya seperti apakah yang bukan dia; Kedua, bagaimana dia dapat kita kenali; dan ketiga, bagaimana kita dapat bicara tentang dia.
Setelah membuat syarat apo-fetik seperti tadi, Thomas beragumen lima ‘langkah’ untuk mengetahui “apa yang di sebut Allah oleh orang-orang?”. Langkah-langkah ini tidak orisinil melaikan diambil dari argumen pendahulu-pendahulunya. Langkah pertama didasarkan argumen Aristoteles mengenai sebab akibat. Rantai sebab-akibat harus berhenti pada suatu tempat. Karena itu bakal tiba pada sebab pertama; Langkah kedua, kita tidak pernah melihat apa yang menyebabkanNya sendiri. Penyebab awal inilah yang tidak berubah oleh apa-pun dan kepadanya orang memberi sebutan Allah; Langkah ketiga didasarkan oleh argumen Ibnu Sina tentang Wujud Wajib, mengenai wujud yang tidak mengambil wujud dari selainNya. Dialah pemberi wjib wujud bagi hal-hal lain; langkah keempat adalah argumen moral dari Aristoteles yakni hirarki keunggulan berupa kesempurnaan yang tidak dimiliki dan terbaik dari semua. Langkah kelima berupa keyakinan Aristoteles yang tidak percaya adanya kebetulan,sebab terakir adalah segala sesuatu yang mematuhi hukum alam merupakan arahan oleh suatu dzat melalui kesadaran dan pemahaman. Dialah yang orang sebut Allah. Melalui argumen Thomas tadi tersusun ragam bentuk frasa: Penggerak Pertama, Kausa Efisien, Wujud Wajib, Keunggulan Tertinggi, dan Pengawasan Cerdas. Kedengarannya selesai duduk perkara tapi Thomas segera melanjutkan bahwa meski kita dapat menyebutkan apa yang disebut Allah kita tidak mengetahui apa makna ‘ada’. Karena Allah tidak bisa diklasifikasikan sesuatu ini dan itu berbeda dengan mahluk yang bisa kita kategorikan kedalam spesies. Karena itu kita tidak bisa bertanya “apakah Allah ada?”. Seolah Allah contoh dari salah satu spesies.
Semua bukti yang telah kita capai menunjukan kita tidak tahu apakah kebaradaannya telah kita buktikan. Kita hanya menunjukan keberadaaan sebuah misteri. Ketika tersandung dan mentok inilah yang disebut pembicaraan ini menjadi diam dan terpesona. Ketidaktahuan bukanlah sumber frustasi atau ketundukan intelektual. Justru ketidaktahuan ini yang mendefinisikan ‘baka’ mengenai keaslian yang transenden berupa dimensi suci yang lebih nyata dan lebih dari apapun dalam pengalaman kita. Karena itu Iman adalah kemampuan untuk mengapresiasi dan pasrah dengan kenyataan non-empiris yang kita saksikan di dunia.  Kenyataan seperti itu disebut oleh Tan Malaka (1897-1949) melalui Madilognya sebagai keajaiban. Bedanya dia justru beranggapan pengetahuan-lah sebagai sebab dan ujung keajaiban itu. Keajaiban adalah perkara yang mengandung pengetahuan. Tan menegaskan bahwa tidak ada yang menajubkan sebelum kita menjadi tahu. Dari segala macam penelitian ilmuan di seluruh dunia yang dikumpulkan,selalu ada pembuktian mengenai hasil temuannya yang dituangkan dalam sekala maupun angka-angka yang rumit dan kita dibuat duduk percaya pada kebenaran perhituan ilmiah tersebut.
Bagi Tan ‘percaya’ ada dua macam dan ‘ajaib’ pun ada dua macam. Pertama , percaya dan kagum pada sesuatu yang berdasarkan bukti perhitungan dan logika. Yang lain percaya dan kagum atas sesuatu yang tidak ada bukti ataupun perhitungan dan logika. Seperti halnya kisah-kisah yang dituturkan pembesar agama, suku, golongan tertentu. Dari kedua macam ‘percaya’ diatas, bagaimana mendapatkan bukti yang pasti? Ini-lah yang pertama sekali muncul dalam pikiran seorang scientist sebelum ia menyusun dan mengumumkan buktinya menjadi sebuah hukum. Walau caranya sempurna namun buktinya lemah bahkan salah, maka akibatnya hukum yang diperoleh tidak layak untuk dioprasikan. Jika pembuktian itu dipaksakan lalu ‘baka’ itu hilang maka hilang juga baik-buruk. Tak akan berguna lagi iman untuk berbuat baik. Beginilah ketakutan yang diajukan oleh pemikir filsafah, pemimpin, alim ulama yang jujur terhadap keyakinan dan pengikutnya. Semata-mata mereka takut akan hukum mereka atau mengharapkan upah di surga. Tapi tidak sedikit yang mengagumi science dan menganggap surga neraka adalah momok dan hanya manisan. Mereka menganggap pengetahuan baik-buruk saja tidak cukup untuk melarang berbuat buruk dan mengajak kepada kebaikan. Seperti halnya,cukupkah iman seorang pemimpin dalam satu masyarakat terhadap dirinya, pekerjaanya, dan dasar yang mulia. Begitu juga cukupkah iman seorang insinyur memakai pengetahuan terbaiknya dan alat yang paling kuat. Akankah dia melakukan hal yang sebaliknya, kalau yang tadi hanya untuk dirinya dan mencelakakan masyarakat. Cukupkah iman seseorang hakim terhadap hukum yang harus dia terjemahkan untuk keperluan masyarakat. Pertanyaan ini sanggup meluas ke ranah ekonomi, dagang, pendidikan, olah raga, rumah tangga dan sebagainnya.
Tuhan dan neraka serta surga tidak bisa diselesaikan dengan kepandaian kata saja. Sayangnya hal yang seharusnya mendapatkan kajian mendalam selalu tidak terpuaskan oleh jawaban ‘agama’. Dalam arti luas dasar agama di dunia ini menyeru pengikutnya mesti berbuat baik dan menjauhi yang buruk. Walau begitu, dalam suatu agama kita dapati pemimpin yang menjerumuskan, dokter yang menyakitkan, insyinyur yang merubuhkan dan alim ulama yang bisa memasukkan diri dan pengikutnya ke dalam neraka.
Ajaran cinta kasih kaum Barat tidak serta merta kita jumpai adil di negara jajahan Timurnya. Di antara kapitalis dan proletar, ada ajaran tidak boleh kawinnya kaum biksu juga memiliki sejarah yang bertentangan dengan ajaran yang justru mereka utamakan. Di sini iman pecah, di tempat yang tidak boleh pecah yang sengaja dilarang untuk dipecah oleh yang memecah. Jadi bila perkara pengertian buruk-baik dan pecah iman menjadi keberatan buat mereka yang jujur. Tan menawarkan kepada golongan ini buat memajukan keberatan itu sendiri kepada mereka yang percaya gunanya Allah sebagai penghukum dan pengupah. Mereka memiliki pengetahuan mengenai hukuman dan upah kelak di akhirat, sekaligus tidak cukup mengandalkan itu tapi mereka sadar memiliki kewajiban tentang dirinya. Sekarang ini, tidak ada lagi perbuatan baik-buruk dari seseorang yang tidak akan dinilai dan diperingatkan oleh masyarakat. Dengan demikian fana dan baka, surga dan neraka, jasmani dan rohani dibentuk oleh asumsi manusia. Semua pengetahuan ini didasarkan oleh fikiran dan perasaan manusia. Dulu ketakutan didasarkan oleh hantu, raksasa, dan dewa yang punya sifat-sifat mirip manusia. Sekarang, melalui pembuktian-pembuktian yang datang bermunculan hal tadi direvisi ke arah keimanan yang lebih aktual dan progesif.
Oleh: Faqih Sulthan

0 komentar:

Posting Komentar