“Dunia fana ini saja belum banyak kita ketahui, apalagi dunia
baka” ungkapan ini cocok untuk mengawali semangat pembuktian Thomas dan Tan.
Dua generasi yang terpisahenam abad ini berupaya menjawab pertanyaan purba
seputar ‘baka’. Pencarian definisi ini sangat menarik. Mengingat dalam setiap
zaman, kehidupan keagamaan selalu beraneka ragam, bervariasi dan bahkan
bertentangan. Pencarian definisi memunculkan jalur untuk mencapai kesolehan
yang beragam. Menggarisbawahi tren tertentu ‘apo-fetik’ yang sangat relevan
bagi kehidupan beragama kita saat ini, merupakan salah satu alur kesolehan Abad
Pertengahan. Cara sepertiini di dukung oleh beberapa pemikir dan pemimpin
spiritual, salah satunya Thomas Aquinas (1225-1274). Di Paris melalui gurunya
Albertus Agung (1200-1280) Thomas meneruskan kedudukannya sebagai penyerap
rasionalisme Aristotelian. Di usia tiga puluh-an Thomas menjadi seseorang yang
terbuka terhadap perubahan ide-ide baru. Dia mengutip filsuf Arab dan Yahudi
ketika di zamnnya masih komitmen dengan penginjilan.
Hari berganti, iklim intelektual yang berubah membuat para teolog
menjadi berhati-hati terhadap yang di sebut intelek. Namun tidak dengan Thomas,
ia dengan berani memberi pernyataan positif afirmatif tentang Tuhan. Sebab
menurutnya sikap afirmatif dan keheningan penolakan sama-sama penting untuk
bicara soal Tuhan. Menurutnya Allah adalah sumber dari segala sesuatu yang ada,
sehingga segala mahluk yang dibuat dapat memberitahu kita tentang diriNya.
Dibolehkan juga memanfaatkan logika tapi dengan syarat. Setiap kali teolog
membuat pernyataan tentang Allah, dia harus menyadari pernyataan itu pasti
tidak memadai. Ketika kita merenung tentang Allah, pikiran akan tidak sanggup
menjangkaunya. Setiap kali berbicara tentang Allah, kita bicara tentang apa
yang tidak terkandung oleh kata-kata. Dengan keterbatasan kata dan konsep, kita
harus membuat pembicaraan ini menjadi diam dan terpesona. Ketika nalar
dimasukan ke dalam Iman. Ia harus menunjukan apa yang di sebut sebagai Allah
berada di luar jangkauan pikiran manusia. Jika tidak demikian
pernyataan-pernyataan tentang Tuhan akan menghasilkan pemberhalaan. Wahyu ilahi
menegaskan tugasnya untuk membuat kita menyadari bahwa Allah tidak dapat
diketahui.
Thomas menjelaskan pengetahuan tertinggi manusia adalah mengetahui
bahwa kita tidak mengetahui Dia. Gagasan Thomas ini dapat dianggap sebagai
kampanye melawan kencenderungan menjinakkan transendensi ilahi. Dalam karyanya
paling terkenal Summa Theolohiae dia memualai pertanyaan paling mendasar dari
semuannya: Apakah Allah itu ada?, Thomas percaya harus ada bukti untuk
menjelaskan hal yang bukan sekedar keimanan dan pengetahuan bawaan. Pembuktian
itu adalah hal yang lebih jelas atau yang di sebut sebagai efek Allah. Sebelum
Thomas menyampaikan bukti-buktinya, Thomas berkata kepada murid-muridnya bahwa
pengetahuan tentang Allah mutlak tidak mungkin, kita tidak dapat menentukan apa
gerangan yang sedang kita buktikan. Kita tidak bisa memikirkan dengan cara
bagaimana Allah ada, kecuali seperti apa yang bukan Dia. Pertama, kita harus bertanya
seperti apakah yang bukan dia; Kedua, bagaimana dia dapat kita kenali; dan
ketiga, bagaimana kita dapat bicara tentang dia.
Setelah membuat syarat apo-fetik seperti tadi, Thomas beragumen
lima ‘langkah’ untuk mengetahui “apa yang di sebut Allah oleh orang-orang?”.
Langkah-langkah ini tidak orisinil melaikan diambil dari argumen
pendahulu-pendahulunya. Langkah pertama didasarkan argumen Aristoteles mengenai
sebab akibat. Rantai sebab-akibat harus berhenti pada suatu tempat. Karena itu
bakal tiba pada sebab pertama; Langkah kedua, kita tidak pernah melihat apa
yang menyebabkanNya sendiri. Penyebab awal inilah yang tidak berubah oleh
apa-pun dan kepadanya orang memberi sebutan Allah; Langkah ketiga didasarkan
oleh argumen Ibnu Sina tentang Wujud Wajib, mengenai wujud yang tidak mengambil
wujud dari selainNya. Dialah pemberi wjib wujud bagi hal-hal lain; langkah
keempat adalah argumen moral dari Aristoteles yakni hirarki keunggulan berupa
kesempurnaan yang tidak dimiliki dan terbaik dari semua. Langkah kelima berupa
keyakinan Aristoteles yang tidak percaya adanya kebetulan,sebab terakir adalah
segala sesuatu yang mematuhi hukum alam merupakan arahan oleh suatu dzat
melalui kesadaran dan pemahaman. Dialah yang orang sebut Allah. Melalui argumen
Thomas tadi tersusun ragam bentuk frasa: Penggerak Pertama, Kausa Efisien,
Wujud Wajib, Keunggulan Tertinggi, dan Pengawasan Cerdas. Kedengarannya selesai
duduk perkara tapi Thomas segera melanjutkan bahwa meski kita dapat menyebutkan
apa yang disebut Allah kita tidak mengetahui apa makna ‘ada’. Karena Allah
tidak bisa diklasifikasikan sesuatu ini dan itu berbeda dengan mahluk yang bisa
kita kategorikan kedalam spesies. Karena itu kita tidak bisa bertanya “apakah
Allah ada?”. Seolah Allah contoh dari salah satu spesies.
Semua bukti yang telah kita capai menunjukan kita tidak tahu
apakah kebaradaannya telah kita buktikan. Kita hanya menunjukan keberadaaan
sebuah misteri. Ketika tersandung dan mentok inilah yang disebut pembicaraan
ini menjadi diam dan terpesona. Ketidaktahuan bukanlah sumber frustasi atau
ketundukan intelektual. Justru ketidaktahuan ini yang mendefinisikan ‘baka’
mengenai keaslian yang transenden berupa dimensi suci yang lebih nyata dan
lebih dari apapun dalam pengalaman kita. Karena itu Iman adalah kemampuan untuk
mengapresiasi dan pasrah dengan kenyataan non-empiris yang kita saksikan di
dunia. Kenyataan seperti itu disebut oleh Tan Malaka (1897-1949) melalui
Madilognya sebagai keajaiban. Bedanya dia justru beranggapan pengetahuan-lah
sebagai sebab dan ujung keajaiban itu. Keajaiban adalah perkara yang mengandung
pengetahuan. Tan menegaskan bahwa tidak ada yang menajubkan sebelum kita
menjadi tahu. Dari segala macam penelitian ilmuan di seluruh dunia yang
dikumpulkan,selalu ada pembuktian mengenai hasil temuannya yang dituangkan
dalam sekala maupun angka-angka yang rumit dan kita dibuat duduk percaya pada
kebenaran perhituan ilmiah tersebut.
Bagi Tan ‘percaya’ ada dua macam dan ‘ajaib’ pun ada dua macam.
Pertama , percaya dan kagum pada sesuatu yang berdasarkan bukti perhitungan dan
logika. Yang lain percaya dan kagum atas sesuatu yang tidak ada bukti ataupun
perhitungan dan logika. Seperti halnya kisah-kisah yang dituturkan pembesar
agama, suku, golongan tertentu. Dari kedua macam ‘percaya’ diatas, bagaimana
mendapatkan bukti yang pasti? Ini-lah yang pertama sekali muncul dalam pikiran
seorang scientist sebelum ia menyusun dan mengumumkan buktinya menjadi sebuah
hukum. Walau caranya sempurna namun buktinya lemah bahkan salah, maka akibatnya
hukum yang diperoleh tidak layak untuk dioprasikan. Jika pembuktian itu
dipaksakan lalu ‘baka’ itu hilang maka hilang juga baik-buruk. Tak akan berguna
lagi iman untuk berbuat baik. Beginilah ketakutan yang diajukan oleh pemikir
filsafah, pemimpin, alim ulama yang jujur terhadap keyakinan dan pengikutnya.
Semata-mata mereka takut akan hukum mereka atau mengharapkan upah di surga.
Tapi tidak sedikit yang mengagumi science dan menganggap surga neraka adalah
momok dan hanya manisan. Mereka menganggap pengetahuan baik-buruk saja tidak
cukup untuk melarang berbuat buruk dan mengajak kepada kebaikan. Seperti
halnya,cukupkah iman seorang pemimpin dalam satu masyarakat terhadap dirinya,
pekerjaanya, dan dasar yang mulia. Begitu juga cukupkah iman seorang insinyur
memakai pengetahuan terbaiknya dan alat yang paling kuat. Akankah dia melakukan
hal yang sebaliknya, kalau yang tadi hanya untuk dirinya dan mencelakakan
masyarakat. Cukupkah iman seseorang hakim terhadap hukum yang harus dia
terjemahkan untuk keperluan masyarakat. Pertanyaan ini sanggup meluas ke ranah
ekonomi, dagang, pendidikan, olah raga, rumah tangga dan sebagainnya.
Tuhan dan neraka serta surga tidak bisa diselesaikan dengan
kepandaian kata saja. Sayangnya hal yang seharusnya mendapatkan kajian mendalam
selalu tidak terpuaskan oleh jawaban ‘agama’. Dalam arti luas dasar agama di
dunia ini menyeru pengikutnya mesti berbuat baik dan menjauhi yang buruk. Walau
begitu, dalam suatu agama kita dapati pemimpin yang menjerumuskan, dokter yang
menyakitkan, insyinyur yang merubuhkan dan alim ulama yang bisa memasukkan diri
dan pengikutnya ke dalam neraka.
Ajaran cinta kasih kaum Barat tidak serta merta kita jumpai adil
di negara jajahan Timurnya. Di antara kapitalis dan proletar, ada ajaran tidak
boleh kawinnya kaum biksu juga memiliki sejarah yang bertentangan dengan ajaran
yang justru mereka utamakan. Di sini iman pecah, di tempat yang tidak boleh
pecah yang sengaja dilarang untuk dipecah oleh yang memecah. Jadi bila perkara
pengertian buruk-baik dan pecah iman menjadi keberatan buat mereka yang jujur.
Tan menawarkan kepada golongan ini buat memajukan keberatan itu sendiri kepada
mereka yang percaya gunanya Allah sebagai penghukum dan pengupah. Mereka
memiliki pengetahuan mengenai hukuman dan upah kelak di akhirat, sekaligus
tidak cukup mengandalkan itu tapi mereka sadar memiliki kewajiban tentang
dirinya. Sekarang ini, tidak ada lagi perbuatan baik-buruk dari seseorang yang
tidak akan dinilai dan diperingatkan oleh masyarakat. Dengan demikian fana dan
baka, surga dan neraka, jasmani dan rohani dibentuk oleh asumsi manusia. Semua
pengetahuan ini didasarkan oleh fikiran dan perasaan manusia. Dulu ketakutan
didasarkan oleh hantu, raksasa, dan dewa yang punya sifat-sifat mirip manusia.
Sekarang, melalui pembuktian-pembuktian yang datang bermunculan hal tadi
direvisi ke arah keimanan yang lebih aktual dan progesif.
Oleh: Faqih Sulthan
0 komentar:
Posting Komentar