Terkesan memaksa ketika menyandingkan pemikiran abad 19 dengan
situasi awal Islam di Jawa. Sudah menjadi maklum saat menyebut wali songo
sebagai mubaligh pertama di pulau Jawa. Tapi apa jadinya ketika nilai-nilai
yang dibawa para wali dicocokan dengan pemikiran tokoh pembaharu, Jamaluddin Al
Afghani (1839-1877 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan Rasyid Ridha (1864-1935
M). Meskipun tujuan Jamaluddin al-Afgani dan Syekh M. Abduh sama, yaitu
pembaharuan masyarakat Islam namun cara untuk mencapai tujuan itu berbeda ( Hanafi,
1989:157). Tidak dipunkiri dalam prespektif ini akan muncul sanggahan yang
memakai alasan perbedaan ruang dan waktu. Boleh jadi perbandingan dua generasi
yang timpang ini justu akan ditemukan kemiripan ide dan karakter perjuanggan.
Butuh kepekaan analogi dalam mengkaji gaya Pan Islamisme[1] ala
Wali Songo. Sehingga akan ketemu strategi apa yang sama dipakai di masa wali
maupun masa wahabi[2] dalam menyatukan umat Islam. Artinya setrategi ini telah
teruji oleh kondisi dan tantangan zaman yang berbeda. Sampai sekarang masih ada
sebagian kelompok yang mengklem segala hal yang beraroma wali songo identik
dengan unsur bid’ah dan kesan tertinggal.
Sebagai ikhtiar awal untuk melihat tunas perjabangan dua kubu
(puritan dan konserfatif). Perlu usaha untuk mengurai paradigma yang tidak
pernah usai ini. Salah bila menyebut sejarah itu bersifat ajeg. Coba kita
tengok revolusi gereja di Eropa, runtuhnya Yunani, pemberontakan bani Israil di
Mesir. Kisah-kisah revolusioner yang terjadi di beda zaman seolah seperti lagu
lama dengan penyanyi yang berbeda. Selalu berulang-ulang dengan permulaan
siklus berupa kejenuhan psikologi dan rohani. Barang kali ini membenarkan
adanya hasrat manusia untuk tampil unik sebagai cara eksis mereka. Begitu pula
aktivis pan islamisme yang mencapai titik kejenuhan lalu berusaha keluar dari
umumnya orang yang mengkultuskan mazhab.
Ketakutan berfikir diluar fatwa empat imam besar, memberi kesan
pintu ijtihad telah tertutup. Celah ini yang kemudian dimanfaatkan para
kolonial barat untuk membodohi dan mengeruk kekayaan negara-negara islam.
Berangkat dari sana, para kaum puritan memiliki alasan untuk bersikap. Yakni
agenda penjernihan praktik agama menuju pakem awal. Jalan keluarnya adalah
melenyapkan pengertian yang salah dan kembali kepada ajaran Islam yang
sebenarnya (Sejarah dan Kebudayaan Indonesia Jilid III, 1982: 19). Begitu pula
dengan melepaskan umat dari kesesatan dan kembali kepada Islam yang asli (Ibid:
183). Kejenuhan serupa juga terjadi di Jawa lima abad sebelum istilah Pan
Islamisme itu ada. Tatkala Majapahit dilanda perang saudara dan para
pemimpinnya saling berebut kekuasaan. Generasi muda tergoda dengan agama yang
membawa ajaran baru. Islam berhasil menjadi penawar kejenuhan masyrakat Jawa
dari agama sebelumnya. Pengaruh ini tak dapat lepas dari peran wali songo dalam
menyebarkan islam. Peran mereka demikian menonjol disebabkan karena mereka
memgang pimpinan yang terutama atas jalanya peristiwa demi peristiwa sejak
kerajaan Demak berdiri (Zuhri 1981:247). Peran wali songo tidak semat-mata
membina masyarakat akan tetapi meliputi pula bidang bidang ketata-prajaan yang
menjadi syarat mutlakbagi pembangunan suatu bangsa. Hingga sekarang Wali songo
menjadi sangat populer di kalangan Rakyat Indonesia dalam memberikan corak
pemerintahan kerajaan Demak.
Menurut Kyai Haji Bisyri Musthafa[3], jumlah para wali itu dalam
suatu zaman tidak hanya sembilan orang. Sembilan orang wali adalah mereka yang
memegang jabatan dalam pemerintahan sebagai pendamping raja atau sesepuh
kerajaan di samping peranan mereka sebagai muballigh dan guru. Fungsi rangkap
sebagai muballigh dan mentri raja ini yang kemudian mereka mempunyai gelar
“sunan” atau “susuhunan”, suatu gelar penguasa di tanah Jawa (Zuhri 1981:260).
Di masa Usman bin Affan Islam telah menyebar ke Afrika, berlanjud di masa
Dinasti Umayah islam terus tersebar ke berbagai wilaya diluar jazirah Arab.
Sekitar akhir abad ke-7 Islam telah sampai di nusantara.
Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954),
diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang
dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam
perjalannya ke China. kemudian di abad 14 Jawa didatangi oleh seorang ulama
asal maroko yang sempat singgah di Pasai dan menikah di sana, yakni Maulana
Malik Ibrahim atau lebih dikenal dengan Maulana Magribi atau Sunan Gresik
karena dia berdakwah di wilayah geresik. Secara hirarki sejarah kedatangan
Maulana Magribi membawa peran besar dalam perkembangan islam di Jawa. Maulana
Magribi menyebarkan islam melalui langkah pendidikan. Hal itu, ia refleksikan
dengan mendirikan pesantren di wilayah gresik. Sebab itu Maulana Magribi (Sunan
Gresik) kemudian kerab disebut sebagai bapak pesantern jawa. Melalui
pesantrennya, Sunan Gresik berhasil mendidik para santrinya untuk disiapkan
menjadi penerus jejaknya sebagai Muballligh Islam. Prestasi ini membuktikan
kecakapan Maulana Magribi merebut simpati dari kalangan masyarakat dan kaum
penguasayang sedang memerintah sekalipun berlainan agama.
Perjuanggan Sunan Gresik dilanjudkan oleh Raden Rahmat (Sunan
Ampel), anak Sunan Gresik dari perkawinannya dengan Putri Cempa (Aceh). Raden
Rahmat mewarisi pesantren Sunan Gresik di usia 12 tahun. Pada tahun 1294 Raden
Rahmat dengan cepat mendapat simpati Ario Tejo seorang tumenggung (gubernur)
pantai utara Tuban. karena berhasil mengusir mundur tiongkok yang hendak
menaklukan pulau Jawa. Raja muda Ario Tejo mengambil Raden Rahmat sebagai
menantunya dinikahkan dengan putrinya Nyi Gede Manila. Sejak itu Raden Rahmat
berkedudukan di Ampel Denta, Surabaya sambil memimpin pesantren peninggalan
ayahnya. Dari sini ia dikenal dengan nama baru Sunan Ampel. SuNan Ampel menjadi
guru dari Raden Fatah, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Gunung
Jati,dan Sunan Kali Jaga. Dari sini dapat dilihat kedekatan kekerabatan antar
wali.
Oleh : Faqih Sulthan [1] Menurut Setiawan (1990: 82), Pan
Islamisme dalam pengertian yang luas adalah kesadaran kesatuan umat Islam yang
diikat oleh kesamaan agama yang membentuk solidaritas sedunia. Pan Islamisme
kemudian mempengaruhi bangkitnya pergerakan nasional Indonesia, karena dalam
periode peralihan abad ke-20, Islam merupakan ciri utama kebudayaan Indonesia,
Korver (1986: 20). [2] Menurut Maarif (1987: 4), Gerakan Pan Islam pada awalnya
muncul sebagai gerakan Wahabi di Arab pada abad ke-18 dengan pelopornya
Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787) dengan menghidupkan himbauan Ibnu Taymiah
untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. [3] K.H. Bisyri
Musthafa-Tarikhul Auliya (1372 H-1952 M)
0 komentar:
Posting Komentar