Di era globalisasi saat ini yang semakin ‘menggila’, begitu banyak
hal yang awalnya baku kemudian dipertanyakan kembali. Pertanyaannya berkisar
pada pusaran mengenai batas-batas suatu entitas, yang kemudian antara suatu
entitas melebur dengan entitas lain dan menjadi suatu entitas yang tak
tertandai. Segala suatu menjadi mungkin untuk melebur, karena itulah aturan main
yang digital. Yang digital disini maksudnya adalah bahwa segala sesuatu melebur
melampaui batas-batas identitas, wilayah dan waktu. Entah itu di dunia politik,
ekonomi, pendidikan, seni, kebudayaan, hingga agama. Yang digital hadir
layaknya dewa sekaligus surga, membuat segala sesuatu yang diinginkan oleh
manusia menjadi mudah. Inilah yang kemudian disebut oleh filsuf-filsuf
kontemporer abad 20-21 sebagai “Neraka terdalam bagi Humanisme”. Bila humanisme
–yang konon antroposentris (terpusat pada kekuatan subjek/manusia) banget itu-
mendengungkan bahwa manusia adalah yang mampu menaklukan fenomena di dunia,
namun seiring berkembangnya zaman, Yang digital hadir demi membuktikan bahwa
manusia adalah makhluk yang lemah, dan daya perannya dapat digantikan oleh semacam
program simulatik komputer.
Di satu sisi, pascahumanisme yang didengungkan oleh Yang digital
banyak memberikan manfaat dan kemudahan, namun di satu sisi menimbulkan
pertanyaan yang sangat eksistensial –dan mengkritis- (Pepperell: 2009, hlm.
282), yakni: sejauh mana batas antara manusia dan alam? Pertanyaan ini sangat
mendasar, dan banyak merambat kepada aspek-aspek lain seperti ekonomi,
psikologi, agama, kebudayaan dan lain-lain. Inilah yang kemudian kita
saksikan saat ini: semua entitas menyebar kemana-mana dan dapat diraih dalam
waktu yang singkat. Barangkali kita sebagai pengguna twitter, sering menemukan
teman sekitar kita meretweet kutipan-kutipan motivasi atau dakwah yang
diposting oleh suatu akun. Namun ketika ditanya kembali “Ini siapa yang ngomong?”,
dan dijawabnya “Wah sorry, ane gak tau bro, adminnya anonim”. Pertanyaan
mengenai suatu validitas pendapat pun terhenti ketika jawaban ini yang didapat.
Juga dalam twitter –yang disebutkan oleh Iqbal Aji dalam Mojok.co secara
symptomatic- kita bisa melihat gejala krisis eksistensial yang sangat gila,
yang bahkan tidak terbayangkan ketika Abad 1 Hijriyah ribuan tahun yang lalu:
yaitu delusi imam-makmum.
Seorang pengguna twitter yang banyak berceloteh –entah itu
kultwit, twitwar, retweet, atau bikin bait puisi-, selalu mengandaikan dirinya
sebagai Imam yang mengikuti banyak pengikut. Bahkan ada gengsi tersendiri,
kalau followersnya lebih banyak daripada following, maka itu lebih keren. Dan
kita tahu sendiri, bahwa sebagian followersnya pun didapat dari hasil politik
transaksional dengan kode “folbek eaa”. Disadari atau tidak, hal-hal
remeh-temeh seperti ini sesungguhnya merupakan gejala yang memiliki akar cabang
yang sangat luas dengan gejala lainnya dan berimbas pada hal yang lain pula.
Misalnya dalam kasus twitter diatas, kita bisa melihat begitu banyaknya
teriakan kafir-sesat-fasiq yang dilakukan oleh segerombolan pemuda-pemudi
twitter yang ternyata dasar argumennya diambil dari salah satu twit akun anonim
(dengan embel-embel: rasul, sabda, islami, dakwah, dll.). Alih-alih argumennya
tersebut utuh, namun Yang digital yang bersemayam dalam nyawa twitter
menghendaki karakter yang dibatasi. Sehingga dalam kasus perdebatan
kultwit-twitwar di twitter seringkali argumen yang disampaikan hanyalah sepotong-potong.
Akhirnya, argumen menjadi dangkal dan gagasan menjadi tidak utuh. Dari sini
mungkin sebagian dari kita akan bertanya, “Kok seolah-olah akun dakwah menjadi
salah sih dalam menyampaikan pesan moral agamanya?”. Disinilah perlu ada
semacam simpulan inti, bahwa barangkali tak ada yang salah dengan teknologi,
digital, ke-instant-an, akun twitter dakwah, dsb. Namun muda-mudi islam kita
sekarang ini seringkali terlena dengan hal tersebut. Barangkali muda-mudi Islam
terlalu ambisius, layaknya kasus Adam dan Hawa ketika makan buah khuldi –yang
konon diberitahu oleh Iblis, bahwa buah tersebut dapat mendatangkan keabadian-.
Hanya karena ingin mendapat pahala berdakwah di twitter –dengan meretweet
kutipan, kultwit hingga twitwar-, begitu banyak hal yang harus dikorbankan.
Dimulai dari pengorbanan esensi toleransi antar umat beragama, hingga
pengorbanan esensi mencari dan menuntut ilmu melalui semangat yang totalitas.
Bagi muda-mudi Islam masa kini, mari kita sejenak lupakan tweet-tweet di
twitter, dan membaca buku atau turats islamic studies. Tentunya melalui metode
perbandingan literatur, sehingga kita tidak seperti kuda yang terhalang
pandangannya karena kacamata yang diberikan sang kusir delman. []
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih
0 komentar:
Posting Komentar