Selasa, 04 Oktober 2016

Muda-mudi Islam dan Semangat Instan di Era Digital



Di era globalisasi saat ini yang semakin ‘menggila’, begitu banyak hal yang awalnya baku kemudian dipertanyakan kembali. Pertanyaannya berkisar pada pusaran mengenai batas-batas suatu entitas, yang kemudian antara suatu entitas melebur dengan entitas lain dan menjadi suatu entitas yang tak tertandai. Segala suatu menjadi mungkin untuk melebur, karena itulah aturan main yang digital. Yang digital disini maksudnya adalah bahwa segala sesuatu melebur melampaui batas-batas identitas, wilayah dan waktu. Entah itu di dunia politik, ekonomi, pendidikan, seni, kebudayaan, hingga agama. Yang digital hadir layaknya dewa sekaligus surga, membuat segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia menjadi mudah. Inilah yang kemudian disebut oleh filsuf-filsuf kontemporer abad 20-21 sebagai “Neraka terdalam bagi Humanisme”. Bila humanisme –yang konon antroposentris (terpusat pada kekuatan subjek/manusia) banget itu- mendengungkan bahwa manusia adalah yang mampu menaklukan fenomena di dunia, namun seiring berkembangnya zaman, Yang digital hadir demi membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, dan daya perannya dapat digantikan oleh semacam program simulatik komputer.
Di satu sisi, pascahumanisme yang didengungkan oleh Yang digital banyak memberikan manfaat dan kemudahan, namun di satu sisi menimbulkan pertanyaan yang sangat eksistensial –dan mengkritis- (Pepperell: 2009, hlm. 282), yakni: sejauh mana batas antara manusia dan alam? Pertanyaan ini sangat mendasar, dan banyak merambat kepada aspek-aspek lain seperti ekonomi, psikologi, agama, kebudayaan dan lain-lain.  Inilah yang kemudian kita saksikan saat ini: semua entitas menyebar kemana-mana dan dapat diraih dalam waktu yang singkat. Barangkali kita sebagai pengguna twitter, sering menemukan teman sekitar kita meretweet kutipan-kutipan motivasi atau dakwah yang diposting oleh suatu akun. Namun ketika ditanya kembali “Ini siapa yang ngomong?”, dan dijawabnya “Wah sorry, ane gak tau bro, adminnya anonim”. Pertanyaan mengenai suatu validitas pendapat pun terhenti ketika jawaban ini yang didapat. Juga dalam twitter –yang disebutkan oleh Iqbal Aji dalam Mojok.co secara symptomatic- kita bisa melihat gejala krisis eksistensial yang sangat gila, yang bahkan tidak terbayangkan ketika Abad 1 Hijriyah ribuan tahun yang lalu: yaitu delusi imam-makmum.
Seorang pengguna twitter yang banyak berceloteh –entah itu kultwit, twitwar, retweet, atau bikin bait puisi-, selalu mengandaikan dirinya sebagai Imam yang mengikuti banyak pengikut. Bahkan ada gengsi tersendiri, kalau followersnya lebih banyak daripada following, maka itu lebih keren. Dan kita tahu sendiri, bahwa sebagian followersnya pun didapat dari hasil politik transaksional dengan kode “folbek eaa”. Disadari atau tidak, hal-hal remeh-temeh seperti ini sesungguhnya merupakan gejala yang memiliki akar cabang yang sangat luas dengan gejala lainnya dan berimbas pada hal yang lain pula. Misalnya dalam kasus twitter diatas, kita bisa melihat begitu banyaknya teriakan kafir-sesat-fasiq yang dilakukan oleh segerombolan pemuda-pemudi twitter yang ternyata dasar argumennya diambil dari salah satu twit akun anonim (dengan embel-embel: rasul, sabda, islami, dakwah, dll.). Alih-alih argumennya tersebut utuh, namun Yang digital yang bersemayam dalam nyawa twitter menghendaki karakter yang dibatasi. Sehingga dalam kasus perdebatan kultwit-twitwar di twitter seringkali argumen yang disampaikan hanyalah sepotong-potong. Akhirnya, argumen menjadi dangkal dan gagasan menjadi tidak utuh. Dari sini mungkin sebagian dari kita akan bertanya, “Kok seolah-olah akun dakwah menjadi salah sih dalam menyampaikan pesan moral agamanya?”. Disinilah perlu ada semacam simpulan inti, bahwa barangkali tak ada yang salah dengan teknologi, digital, ke-instant-an, akun twitter dakwah, dsb. Namun muda-mudi islam kita sekarang ini seringkali terlena dengan hal tersebut. Barangkali muda-mudi Islam terlalu ambisius, layaknya kasus Adam dan Hawa ketika makan buah khuldi –yang konon diberitahu oleh Iblis, bahwa buah tersebut dapat mendatangkan keabadian-. Hanya karena ingin mendapat pahala berdakwah di twitter –dengan meretweet kutipan, kultwit hingga twitwar-, begitu banyak hal yang harus dikorbankan. Dimulai dari pengorbanan esensi toleransi antar umat beragama, hingga pengorbanan esensi mencari dan menuntut ilmu melalui semangat yang totalitas. Bagi muda-mudi Islam masa kini, mari kita sejenak lupakan tweet-tweet di twitter, dan membaca buku atau turats islamic studies. Tentunya melalui metode perbandingan literatur, sehingga kita tidak seperti kuda yang terhalang pandangannya karena kacamata yang diberikan sang kusir delman. []

Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih

0 komentar:

Posting Komentar