Politik balas budi yang dicanangkan oleh Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda rupanya banyak memberikan sejumlah perubahan di awal abad 20.
Maklum saja, politik balas budi tersebut mempunyai program berupa pembukaan
lebih luwes bagi masyarakat Hindia Belanda terhadap akses pendidikan,
perekonomian, perserikatan, termasuk juga pada pergerakan politik. Langkah
politik ini walaupun hanya menyentuh kalangan masyarakat kosmopolit seperti
Batavia, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, dll. banyak memberikan sumbangsih bagi
lahirnya embrio kebangkitan nasional di Hindia Belanda pada saat itu. Hal yang
paling kentara misalnya ketika pendirian Boedi Oetomo (BO) di Batavia pada tahun
1908, yang dimana banyak dari para inisiator berdirinya BO berasal dari
kalangan berpendidikan tinggi. Sebagai organisasi yang cukup elit pada saat
itu, BO banyak sekali bersinggungan dengan pelbagai pemikiran dari luar, salah
satunya adalah Tarekat Mason Bebas (Freemasons).
Tarekat Mason Bebas merupakan semacam organisasi sosial yang
bervisi untuk pembangunan emosional dan spiritual bagi anggota-anggotanya. Hal
yang paling inti dalam pemikiran Tarekat Mason adalah asas persaudaran yang tak
mengenal batas-batas golongan; baik suku, ras, agama, dll (Stevens: 2004, hlm
309). Ide-ide seperti ini tentunya cepat menjalar di kalangan aktivis
pergerakan nasional pada saat itu. Konsep persaudaraan erat sekali dengan yang
namanya kepedulian, sehingga banyak sekali dari organisasi kebangkitan nasional
pada kala itu berfokus pada bakti-amal sosial; membuat rumah pendidikan, rumah
sakit, panti asuhan, dll. Persaudaraan dan kepedulian tak akan berjalan
bilamana tak diiringi langkah nyata dalam memperjuangkan kaum tertindas. Hal
serupa juga mengilhami Ahmad Dahlan, seorang Kiyai yang berasal dari lingkungan
Keraton Jogjakarta. Ahmad Dahlan yang banyak belajar ilmu agama, dan juga
ilmu-ilmu umum berpikiran bahwa sudah semestinya umat Islam di Hindia Belanda
mempunyai akses terhadap sektor-sektor penting kehidupan. Oleh karena itu,
baginya sangatlah penting untuk membuat semacam organisasi untuk mengorganisir
pergerakan ini. Karena minimnya pengalaman ia berorganisasi, maka Ahmad Dahlan
mencoba untuk belajar di Boedi Oetomo. Menurut Haji Syuja’, seorang murid Ahmad
Dahlan mengatakan bahwa sekalipun niatan Gurunya adalah untuk belajar
berorganisasi, namun ia juga sebenarnya merasakan kecocokan visi-misi bersama
Boedi Oetomo (Najib Burhani: 2010, hlm 62). Walaupun pada saat itu, Boedi
Oetomo bisa disebut sebagai organisasi yang cukup sekular (karena banyak dari
anggotanya yang kejawen, abangan, paling ekstrim atheis), namun banyak memiliki
ide-ide segar. Konsep Pan Jawa, persaudaraan, bakti sosial, pendidikan
berkemajuan, dll. merupakan sekelumit ide-ide yang berada di Boedi Oetomo. Maka
selepas beberapa tahun di Boedi Oetomo, Ahmad Dahlan membangun organisasi yang
concern pada bakti sosial; Muhammadiyah. Jika Boedi Oetomo diilhami dengan
nilai-nilai humanisme Barat, maka Muhammadiyah diilhami oleh Teologi Kaum
Tertindas (Teologi Al-ma’un).
Ahmad Dahlan menyatakan, bahwa inti paling berharga dari sebuah
pemahaman terhadap ayat Al-quran adalah bagaimana aplikasinya dan memberikan
manfaat kepada yang membutuhkan. Sebagai pembaca yang ketat terhadap teks-teks
agama, Ahmad Dahlan menjadikan teologi Al-ma’un sebagai landasan Muhammadiyah
dalam beramal sosial. Nilai-nilai Humanisme Al-Qur’an sudah seharusnya menjadi
motor penggerak bagi kemajuan umat Islam itu sendiri. Dengan begitu, Al-quran
bisa mendapatkan konektivitasnya dengan alam dunia yang serba dinamis.
Hal yang ditakuti Belanda pada era 1800-1900-an adalah pembacaan
yang ketat terhadap Al-quran, karena Belanda menyadari bahwa di dalam Al-quran
mengandung nilai-nilai revolusioner untuk melahirkan kebangkitan kemerdekaaan.
Banyak sekali ayat-ayat Al-quran yang menyangkut perihal ekonomi, pendidikan,
dll. Berdirinya Muhammadiyah pun tak terlepas dari tafsir Alquran seperti ini.
Melihat hal ini, kita tentunya perlu berpikir kembali bahwasanya kebangkitan
nasional di Indonesia merupakan kebangkitan Humanisme, yakni bagaimana
agenda-agenda kemanusiaan diimplementasikan oleh kaum-kaum pergerakan nasional.
Humanisme harus memiliki landasan bahwa pada dasarnya semuanya saudara, oleh
karena itu humanisme sangat menentang akan adanya diskriminasi. Melalui prinsip
ini, maka Humanisme dapat memiliki jalan kongkretnya melalui aksi-aksi bakti
sosial, baik melalui jalur pendidikan, ekonomi, keagamaan, dll. Dengan begitu,
pada dasarnya humanisme adalah bagaimana memperlakukan manusia sebagai manusia;
manusia memperjuangkan apa yang dibutuhkannya untuk eksis di dunia.
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih
0 komentar:
Posting Komentar