Selasa, 04 Oktober 2016

Kebangkitan Nasional dan Humanisme


Politik balas budi yang dicanangkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda rupanya banyak memberikan sejumlah perubahan di awal abad 20. Maklum saja, politik balas budi tersebut mempunyai program berupa pembukaan lebih luwes bagi masyarakat Hindia Belanda terhadap akses pendidikan, perekonomian, perserikatan, termasuk juga pada pergerakan politik. Langkah politik ini walaupun hanya menyentuh kalangan masyarakat kosmopolit seperti Batavia, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, dll. banyak memberikan sumbangsih bagi lahirnya embrio kebangkitan nasional di Hindia Belanda pada saat itu. Hal yang paling kentara misalnya ketika pendirian Boedi Oetomo (BO) di Batavia pada tahun 1908, yang dimana banyak dari para inisiator berdirinya BO berasal dari kalangan berpendidikan tinggi. Sebagai organisasi yang cukup elit pada saat itu, BO banyak sekali bersinggungan dengan pelbagai pemikiran dari luar, salah satunya adalah Tarekat Mason Bebas (Freemasons).
Tarekat Mason Bebas merupakan semacam organisasi sosial yang bervisi untuk pembangunan emosional dan spiritual bagi anggota-anggotanya. Hal yang paling inti dalam pemikiran Tarekat Mason adalah asas persaudaran yang tak mengenal batas-batas golongan; baik suku, ras, agama, dll (Stevens: 2004, hlm 309). Ide-ide seperti ini tentunya cepat menjalar di kalangan aktivis pergerakan nasional pada saat itu. Konsep persaudaraan erat sekali dengan yang namanya kepedulian, sehingga banyak sekali dari organisasi kebangkitan nasional pada kala itu berfokus pada bakti-amal sosial; membuat rumah pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, dll. Persaudaraan dan kepedulian tak akan berjalan bilamana tak diiringi langkah nyata dalam memperjuangkan kaum tertindas. Hal serupa juga mengilhami Ahmad Dahlan, seorang Kiyai yang berasal dari lingkungan Keraton Jogjakarta. Ahmad Dahlan yang banyak belajar ilmu agama, dan juga ilmu-ilmu umum berpikiran bahwa sudah semestinya umat Islam di Hindia Belanda mempunyai akses terhadap sektor-sektor penting kehidupan. Oleh karena itu, baginya sangatlah penting untuk membuat semacam organisasi untuk mengorganisir pergerakan ini. Karena minimnya pengalaman ia berorganisasi, maka Ahmad Dahlan mencoba untuk belajar di Boedi Oetomo. Menurut Haji Syuja’, seorang murid Ahmad Dahlan mengatakan bahwa sekalipun niatan Gurunya adalah untuk belajar berorganisasi, namun ia juga sebenarnya merasakan kecocokan visi-misi bersama Boedi Oetomo (Najib Burhani: 2010, hlm 62). Walaupun pada saat itu, Boedi Oetomo bisa disebut sebagai organisasi yang cukup sekular (karena banyak dari anggotanya yang kejawen, abangan, paling ekstrim atheis), namun banyak memiliki ide-ide segar. Konsep Pan Jawa, persaudaraan, bakti sosial, pendidikan berkemajuan, dll. merupakan sekelumit ide-ide yang berada di Boedi Oetomo. Maka selepas beberapa tahun di Boedi Oetomo, Ahmad Dahlan membangun organisasi yang concern pada bakti sosial; Muhammadiyah. Jika Boedi Oetomo diilhami dengan nilai-nilai humanisme Barat, maka Muhammadiyah diilhami oleh Teologi Kaum Tertindas (Teologi Al-ma’un).
Ahmad Dahlan menyatakan, bahwa inti paling berharga dari sebuah pemahaman terhadap ayat Al-quran adalah bagaimana aplikasinya dan memberikan manfaat kepada yang membutuhkan. Sebagai pembaca yang ketat terhadap teks-teks agama, Ahmad Dahlan menjadikan teologi Al-ma’un sebagai landasan Muhammadiyah dalam beramal sosial. Nilai-nilai Humanisme Al-Qur’an sudah seharusnya menjadi motor penggerak bagi kemajuan umat Islam itu sendiri. Dengan begitu, Al-quran bisa mendapatkan konektivitasnya dengan alam dunia yang serba dinamis.
Hal yang ditakuti Belanda pada era 1800-1900-an adalah pembacaan yang ketat terhadap Al-quran, karena Belanda menyadari bahwa di dalam Al-quran mengandung nilai-nilai revolusioner untuk melahirkan kebangkitan kemerdekaaan. Banyak sekali ayat-ayat Al-quran yang menyangkut perihal ekonomi, pendidikan, dll. Berdirinya Muhammadiyah pun tak terlepas dari tafsir Alquran seperti ini. Melihat hal ini, kita tentunya perlu berpikir kembali bahwasanya kebangkitan nasional di Indonesia merupakan kebangkitan Humanisme, yakni bagaimana agenda-agenda kemanusiaan diimplementasikan oleh kaum-kaum pergerakan nasional. Humanisme harus memiliki landasan bahwa pada dasarnya semuanya saudara, oleh karena itu humanisme sangat menentang akan adanya diskriminasi. Melalui prinsip ini, maka Humanisme dapat memiliki jalan kongkretnya melalui aksi-aksi bakti sosial, baik melalui jalur pendidikan, ekonomi, keagamaan, dll. Dengan begitu, pada dasarnya humanisme adalah bagaimana memperlakukan manusia sebagai manusia; manusia memperjuangkan apa yang dibutuhkannya untuk eksis di dunia.
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih

0 komentar:

Posting Komentar