Anggap saja bulan Agustus merupakan bulan yang masih menyisakan
nuansa-nuansa nostalgik kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai bulan yang
mewadahi tanggal kemerdekaan, begitu banyak refleksi di dalamnya. Maklum saja,
kemerdekaan merupakan hal yang sangat tidak mudah untuk diraih. Didalamnya
terdapat darah yang berceceran, nyawa yang melayang, hingga intrik politik yang
rumit. Bahkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sudah ada pertentangan dan
perbedaan politik yang cukup tajam. Kita mengenal adanya perbedaan bagaimana
Indonesia harus memproklamirkan kemerdekaan –yang dimana golongan muda seperti
Sukarni dkk. dan golongan tua seperti Soekarno dkk. yang saling berbantahan-.
Dan perdebatan yang cukup panjang adalah perdebatan mengenai dasar Negara serta
Konstitusi RI.
Dasar Negara & Konstitusi merupakan fondasi serta cita-nilai
dari sebuah hukum yang ada, hingga maklum-lah bilamana di kemudian hari dalam
sejarah RI, perdebatan mengenainya merupakan perdebatan yang paling panas. Ia
bagaikan “sebuah ideologi” sebuah Negara, yang sebagai ideologi ia menentukan
arah masyarakat Indonesia kedepannya. Dan inilah yang kemudian dirasakan oleh
para founding fathers Republik Indonesia. Moh. Yamin ataupun Soekarno yang
memproklamirkan konsep Pancasila menyadari bahwa Dasar Negara dan Konstitusi RI
harus mampu menjadi dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia yang banyak,
beragam dan majemuk. Dalam keragaman dan kemajemukan, mesti ditemukan dalam
satu kerangka yang sama dan pas: yakni Pancasila. Namun argumentasi ini sempat
ditentang oleh perwakilan golongan Islam pada sidang BPUPKI di tanggal 18
Agustus 1945, bahwa sekalipun Pancasila memiliki watak dan jangkauan yang
meluas, namun perlu memperhatikan batas-batas tertentu. Inilah mengapa Ki Bagus
Hadikusumo misalnya, pada saat itu –sebelum dilobby oleh KH Wahid Hasyim- tetap
bersikukuh bahwa Sila pertama harus berisikan Ketuhanan –Tauhidullah- dengan
memperhatikan kewajiban syariat atasnya. Sekalipun akhirnya Ki Bagus Hadikusumo
akhirnya mengalah demi mempertimbangkan hal-hal lainnya, namun wacana sila
pertama ini tetap menghangat hingga era Demokrasi Liberal Indonesia pada tahun
1950-an. Wacana ini cukup menghangat, karena dihembuskan oleh Partai Politik
yang berafiliasi pada ideologi Islam seperti Masyumi dan NU –hingga akhirnya
menguap setelah Soekarno memproklamirkan Demokrasi Terpimpin dan Masyumi
dibubarkan karena tuduhan makar-. Namun dari banyaknya perdebatan ini, ada satu
pelajaran yang dapat dipetik: bahwa tanpa merendahkan kapabilitas think-tank
intelektual para penggadang konsepsi kewajiban syariat dalam Ketuhanan, bahwa
tetap saja bila merunut pada logika keberagaman, perlu suatu fondasi besar yang
menjadi pintu bagi semua golongan.
Dengan begini, dalam tradisi filsafat-tasawuf perrenial, sila
Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai dalam pengertiannya yang sangat luas:
bahwa konsepsi Ketuhanan merupakan konsepsi Universal yang ia bisa hadir di
Agama dan Golongan manapun. Sifat-sifat Ketuhanan seperti Kasih Sayang, Pemaaf,
Pengampun, dst. bisa hadir di golongan mana pun. Inilah logika yang nyambung,
bila kemudian disambungkan dengan sila-sila selanjutnya pada Pancasila.
Sekalipun dalam sejarahnya, klaim atas tafsir Pancasila pun sempat memberikan
berbagai masalah –terutama di era Orde Baru-, namun Pancasila dalam konteks
Keindonesiaan masih tetap dibutuhkan demi menjadi cita dari suatu tujuan
berbangsa. Namun perlu diperhatikan kembali, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa
bukan dimaknai penyatuan Tuhan-tuhan di setiap Agama-agama yang ada. Ketuhanan
Yang Maha Esa mesti dimaknai bahwa sifat-sifat Tuhan selalu hadir dimanapun tak
memandang asal dan tempat, dan ia-lah yang mampu menjadi wadah perekat dan
pemernyatu bangsa. []
--Penulis adalah Pegiat Women Studies Center Tembalang-Semarang
0 komentar:
Posting Komentar