Selasa, 04 Oktober 2016

Hal-Ihwal Sila Ketuhanan Yang Maha Esa


Anggap saja bulan Agustus merupakan bulan yang masih menyisakan nuansa-nuansa nostalgik kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai bulan yang mewadahi tanggal kemerdekaan, begitu banyak refleksi di dalamnya. Maklum saja, kemerdekaan merupakan hal yang sangat tidak mudah untuk diraih. Didalamnya terdapat darah yang berceceran, nyawa yang melayang, hingga intrik politik yang rumit. Bahkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945, sudah ada pertentangan dan perbedaan politik yang cukup tajam. Kita mengenal adanya perbedaan bagaimana Indonesia harus memproklamirkan kemerdekaan –yang dimana golongan muda seperti Sukarni dkk. dan golongan tua seperti Soekarno dkk. yang saling berbantahan-. Dan perdebatan yang cukup panjang adalah perdebatan mengenai dasar Negara serta Konstitusi RI.
Dasar Negara & Konstitusi merupakan fondasi serta cita-nilai dari sebuah hukum yang ada, hingga maklum-lah bilamana di kemudian hari dalam sejarah RI, perdebatan mengenainya merupakan perdebatan yang paling panas. Ia bagaikan “sebuah ideologi” sebuah Negara, yang sebagai ideologi ia menentukan arah masyarakat Indonesia kedepannya. Dan inilah yang kemudian dirasakan oleh para founding fathers Republik Indonesia. Moh. Yamin ataupun Soekarno yang memproklamirkan konsep Pancasila menyadari bahwa Dasar Negara dan Konstitusi RI harus mampu menjadi dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia yang banyak, beragam dan majemuk. Dalam keragaman dan kemajemukan, mesti ditemukan dalam satu kerangka yang sama dan pas: yakni Pancasila. Namun argumentasi ini sempat ditentang oleh perwakilan golongan Islam pada sidang BPUPKI di tanggal 18 Agustus 1945, bahwa sekalipun Pancasila memiliki watak dan jangkauan yang meluas, namun perlu memperhatikan batas-batas tertentu. Inilah mengapa Ki Bagus Hadikusumo misalnya, pada saat itu –sebelum dilobby oleh KH Wahid Hasyim- tetap bersikukuh bahwa Sila pertama harus berisikan Ketuhanan –Tauhidullah- dengan memperhatikan kewajiban syariat atasnya. Sekalipun akhirnya Ki Bagus Hadikusumo akhirnya mengalah demi mempertimbangkan hal-hal lainnya, namun wacana sila pertama ini tetap menghangat hingga era Demokrasi Liberal Indonesia pada tahun 1950-an. Wacana ini cukup menghangat, karena dihembuskan oleh Partai Politik yang berafiliasi pada ideologi Islam seperti Masyumi dan NU –hingga akhirnya menguap setelah Soekarno memproklamirkan Demokrasi Terpimpin dan Masyumi dibubarkan karena tuduhan makar-. Namun dari banyaknya perdebatan ini, ada satu pelajaran yang dapat dipetik: bahwa tanpa merendahkan kapabilitas think-tank intelektual para penggadang konsepsi kewajiban syariat dalam Ketuhanan, bahwa tetap saja bila merunut pada logika keberagaman, perlu suatu fondasi besar yang menjadi pintu bagi semua golongan.
Dengan begini, dalam tradisi filsafat-tasawuf perrenial, sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus dimaknai dalam pengertiannya yang sangat luas: bahwa konsepsi Ketuhanan merupakan konsepsi Universal yang ia bisa hadir di Agama dan Golongan manapun. Sifat-sifat Ketuhanan seperti Kasih Sayang, Pemaaf, Pengampun, dst. bisa hadir di golongan mana pun. Inilah logika yang nyambung, bila kemudian disambungkan dengan sila-sila selanjutnya pada Pancasila. Sekalipun dalam sejarahnya, klaim atas tafsir Pancasila pun sempat memberikan berbagai masalah –terutama di era Orde Baru-, namun Pancasila dalam konteks Keindonesiaan masih tetap dibutuhkan demi menjadi cita dari suatu tujuan berbangsa. Namun perlu diperhatikan kembali, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bukan dimaknai penyatuan Tuhan-tuhan di setiap Agama-agama yang ada. Ketuhanan Yang Maha Esa mesti dimaknai bahwa sifat-sifat Tuhan selalu hadir dimanapun tak memandang asal dan tempat, dan ia-lah yang mampu menjadi wadah perekat dan pemernyatu bangsa. []
--Penulis adalah Pegiat Women Studies Center Tembalang-Semarang

0 komentar:

Posting Komentar