Ada semacam kata-kata carut-marut yang bergentayangan di
masyarakat; carut marut itu bernama pembaharuan! Ya, kata-kata pembaharuan
selalu muncul sebagai senjata ampuh untuk meyakinkan orang betapa pentingnya
sesuatu, yang hasilnya orang tersebut menerimanya tanpa mempertanyakan ulang
kembali signifikansinya kata-kata tersebut. Dalam setahun, kata-kata ini
biasanya muncul pada waktu Per Agustus-September, yang dimana hampir seluruh
kampus di Indonesia menerima mahasiswa baru (Maba).
Berdatangannya Maba di kampus, langsung disambut dengan berbagai
kata-kata ampuh untuk menegaskan kembali bahwa status kelas mahasiswa berbeda
dengan status kelas lainnya. Kata-kata ini berwujud seperti; agen perubahan,
pemuda intelektuil, dsb. Acara-acara kampus turut menggelorakan kata-kata ini
melalui serangkaian acara ritual tahunan bagi Maba. Maba dicecoki oleh semacam
doktrinasi atas nama moral dan karakter. Ini semua didukung oleh legitimasi
berupa slogan ‘menuju perubahan-pembaharuan’. Pierre Bourdieu, seorang
Filsuf-Sosiolog kenamaan menyebutkan bahwa kata-kata seperti ini seringkali
disebut juga sebagai doxa. Doxa adalah dunia wacana yang mendominasi kita, ia
memiliki semesta makna dan kesadaran kolektif yang dianggap hadir dan diterima
begitu saja, tanpa dipertimbangkan atau dipertanyakannya lagi (Fauzi Fashri :
2014, hlm. 138) Kata-kata pembaharuan, terus direproduksi di tengah-tengah
masyarakat untuk menegaskan posisi kelas seseorang.
Tak hanya di kalangan politisi praktis, ini pun terjadi di
kalangan mahasiswa. Muncullah sederetan panggilan yang menyertai; Gerakan perubahan,
agen perubahan, dsb. Kata-kata ini berfungsi untuk menancapkan simbol wacana
dominan pada golongan tersebut. Karena slogan pembaharuan bermain dalam ranah
bahasa, maka kita dihadapkan dengan apa yang dinamakan sebagai kekuasaan
simbolik. Kekuasaan simbolik yakni suatu tatanan kekuasaan untuk mengkontruksi
realitas melalui tatanan gnoseological, yaitu pemaknaan yang paling dekat
mengenai dunia sosial suatu kelompok atau orang (Ibid, hlm. 142). Namun
kekuasaan simbolik ini, ia tidaklah nampak (karena bermain pada sistem bahasa)
dan hanya dikenali dari tujuannya untuk memperoleh pengakuan dan legitimasi.
Hal ini berfungsi untuk menegaskan, bahwa pandangan ‘mereka’-lah yang absah
dibandingkan dengan ‘yang lain’. Dalam hal ini, mekanisme kerja kekuasaan
simbolik menurut Pierre Bourdieu bekerja melalui prinsip simbolik yang
diketahui dan dikenali oleh kedua belah pihak, yaitu yang mendominasi dan yang
didominasi. Karena medium kekerasan ini selalu bekerja melalui bahasa, maka
dari itu Bourdieu selalu mengingatkan kita agar selalu mencurigai bahasa,
wacana, slogan, dll. yang diproduksi oleh kelas dominan. Sekalipun dalam dunia
kemahasiswaan, kata-kata pembaharuan sedemikian ampuhnya bekerja dan menjadi
doxa. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari kita, bisa disaksikan mulai
adanya semacam peninjauan ulang kembali kata-kata seperti ini. Para reflektor
seperti ini disebut juga sebagai Heterodoxa, yakni kelompok minim yang
mengambil strategi subversif untuk terus mempertanyakan ulang wacana-wacana
yang dominan. Melalui strategi heterodoxa ini lah kita bisa melihat bahwa dalam
konteks kekinian, sekalipun pada diri mahasiswa dilekatkan slogan ‘agen
perubahan’, akan tetapi pada praxis-nya hanya eksistensinyalah yang berubah.
Dari siswa SMA menuju Mahasiswa Universitas. Secara esensi tak banyak berubah.
Yang ada, bahwa kampus adalah lahan modal komoditas bagaimana caranya mencari
uang! Namun tak semerta-merta dengan begini yang disalahkan adalah kesadaran
individu.
Disini penulis melihat sesuai dengan tesis ala Marxian, bahwa
kondisi materiil objektif lah yang justru berperan penting dalam mengintervensi
kesadaran individu (Martin Suryajaya: 2010, hlm. 53). Kondisi materiil objektif
saat ini menyatakan bahwa secara sistem, dunia perkuliahan layaknya dunia
pelatihan magang menuju bursa industri. Bursa industri yang ada saat ini,
secara kontinu menempatkan kapital-kapitalnya masing-masing melalui sistem yang
akurat dan cepat. Saking cepatnya, sistem ini layaknya sebuah sirkuit balap
terpadu, yang dimana manusia justru secara mayoritas enggan untuk merefleksikan
kondisi materiil objektif yang ada.
Carut-marutnya harapan akan adanya pembaharuan (yang karenanya
makna ‘pembaharuan’ sudah sedemikian rupa dipolitisasi dan direduksi oleh rezim
dominan), menuntut kita untuk melakukan pembaharuan terhadap makna pembaharuan
itu sendiri. Hal dekat yang mungkin dilakukan pada agenda ini, yakni dengan
mengimbangi kecepatan sirkuit balap kapital kontemporer melalui kecepatan daya
reflektif. Sekalipun ini seolah mustahil, namun dari kemustahilan ini kita bisa
membangun ambisi kita. Kemustahilan harus dipahami sebagai titik buta (blind
spot) dari sistem kemungkinan, yang merupakan manifestasi kontrol sistem
kapital saat ini. Namun kemustahilan inilah yang kemudian justru menjadi tempat
aman untuk menulis, memantau, merefleksikan, hingga.... Melawan (Hizkia Yosie :
2012). Dengan agenda seperti ini, maka status mahasiswa yang dinilai oleh
masyarakat umum sebagai kelas akademisi bukan sekedar mitos belaka, yang paling
tidak mahasiswa tidak menjadi objek perputaran kapital yang eksistensinya
hilang digerus sejarah. []
Selamat datang mahasiswa baru! ---M. Rasyid Ridha Saragih, Editor
Komunitas Payung
0 komentar:
Posting Komentar