Selasa, 04 Oktober 2016

Dunia Kampus Kita: Pentingnya Melakukan Pembaharuan Terhadap ‘pembaharuan’


Ada semacam kata-kata carut-marut yang bergentayangan di masyarakat; carut marut itu bernama pembaharuan! Ya, kata-kata pembaharuan selalu muncul sebagai senjata ampuh untuk meyakinkan orang betapa pentingnya sesuatu, yang hasilnya orang tersebut menerimanya tanpa mempertanyakan ulang kembali signifikansinya kata-kata tersebut. Dalam setahun, kata-kata ini biasanya muncul pada waktu Per Agustus-September, yang dimana hampir seluruh kampus di Indonesia menerima mahasiswa baru (Maba).
Berdatangannya Maba di kampus, langsung disambut dengan berbagai kata-kata ampuh untuk menegaskan kembali bahwa status kelas mahasiswa berbeda dengan status kelas lainnya. Kata-kata ini berwujud seperti; agen perubahan, pemuda intelektuil, dsb. Acara-acara kampus turut menggelorakan kata-kata ini melalui serangkaian acara ritual tahunan bagi Maba. Maba dicecoki oleh semacam doktrinasi atas nama moral dan karakter. Ini semua didukung oleh legitimasi berupa slogan ‘menuju perubahan-pembaharuan’. Pierre Bourdieu, seorang Filsuf-Sosiolog kenamaan menyebutkan bahwa kata-kata seperti ini seringkali disebut juga sebagai doxa. Doxa adalah dunia wacana yang mendominasi kita, ia memiliki semesta makna dan kesadaran kolektif yang dianggap hadir dan diterima begitu saja, tanpa dipertimbangkan atau dipertanyakannya lagi (Fauzi Fashri : 2014, hlm. 138) Kata-kata pembaharuan, terus direproduksi di tengah-tengah masyarakat untuk menegaskan posisi kelas seseorang.
Tak hanya di kalangan politisi praktis, ini pun terjadi di kalangan mahasiswa. Muncullah sederetan panggilan yang menyertai; Gerakan perubahan, agen perubahan, dsb. Kata-kata ini berfungsi untuk menancapkan simbol wacana dominan pada golongan tersebut. Karena slogan pembaharuan bermain dalam ranah bahasa, maka kita dihadapkan dengan apa yang dinamakan sebagai kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik yakni suatu tatanan kekuasaan untuk mengkontruksi realitas melalui tatanan gnoseological, yaitu pemaknaan yang paling dekat mengenai dunia sosial suatu kelompok atau orang (Ibid, hlm. 142). Namun kekuasaan simbolik ini, ia tidaklah nampak (karena bermain pada sistem bahasa) dan hanya dikenali dari tujuannya untuk memperoleh pengakuan dan legitimasi. Hal ini berfungsi untuk menegaskan, bahwa pandangan ‘mereka’-lah yang absah dibandingkan dengan ‘yang lain’. Dalam hal ini, mekanisme kerja kekuasaan simbolik menurut Pierre Bourdieu bekerja melalui prinsip simbolik yang diketahui dan dikenali oleh kedua belah pihak, yaitu yang mendominasi dan yang didominasi. Karena medium kekerasan ini selalu bekerja melalui bahasa, maka dari itu Bourdieu selalu mengingatkan kita agar selalu mencurigai bahasa, wacana, slogan, dll. yang diproduksi oleh kelas dominan. Sekalipun dalam dunia kemahasiswaan, kata-kata pembaharuan sedemikian ampuhnya bekerja dan menjadi doxa. Akan tetapi dalam kenyataan sehari-hari kita, bisa disaksikan mulai adanya semacam peninjauan ulang kembali kata-kata seperti ini. Para reflektor seperti ini disebut juga sebagai Heterodoxa, yakni kelompok minim yang mengambil strategi subversif untuk terus mempertanyakan ulang wacana-wacana yang dominan. Melalui strategi heterodoxa ini lah kita bisa melihat bahwa dalam konteks kekinian, sekalipun pada diri mahasiswa dilekatkan slogan ‘agen perubahan’, akan tetapi pada praxis-nya hanya eksistensinyalah yang berubah. Dari siswa SMA menuju Mahasiswa Universitas. Secara esensi tak banyak berubah. Yang ada, bahwa kampus adalah lahan modal komoditas bagaimana caranya mencari uang! Namun tak semerta-merta dengan begini yang disalahkan adalah kesadaran individu.
Disini penulis melihat sesuai dengan tesis ala Marxian, bahwa kondisi materiil objektif lah yang justru berperan penting dalam mengintervensi kesadaran individu (Martin Suryajaya: 2010, hlm. 53). Kondisi materiil objektif saat ini menyatakan bahwa secara sistem, dunia perkuliahan layaknya dunia pelatihan magang menuju bursa industri. Bursa industri yang ada saat ini, secara kontinu menempatkan kapital-kapitalnya masing-masing melalui sistem yang akurat dan cepat. Saking cepatnya, sistem ini layaknya sebuah sirkuit balap terpadu, yang dimana manusia justru secara mayoritas enggan untuk merefleksikan kondisi materiil objektif yang ada.
Carut-marutnya harapan akan adanya pembaharuan (yang karenanya makna ‘pembaharuan’ sudah sedemikian rupa dipolitisasi dan direduksi oleh rezim dominan), menuntut kita untuk melakukan pembaharuan terhadap makna pembaharuan itu sendiri. Hal dekat yang mungkin dilakukan pada agenda ini, yakni dengan mengimbangi kecepatan sirkuit balap kapital kontemporer melalui kecepatan daya reflektif. Sekalipun ini seolah mustahil, namun dari kemustahilan ini kita bisa membangun ambisi kita. Kemustahilan harus dipahami sebagai titik buta (blind spot) dari sistem kemungkinan, yang merupakan manifestasi kontrol sistem kapital saat ini. Namun kemustahilan inilah yang kemudian justru menjadi tempat aman untuk menulis, memantau, merefleksikan, hingga.... Melawan (Hizkia Yosie : 2012). Dengan agenda seperti ini, maka status mahasiswa yang dinilai oleh masyarakat umum sebagai kelas akademisi bukan sekedar mitos belaka, yang paling tidak mahasiswa tidak menjadi objek perputaran kapital yang eksistensinya hilang digerus sejarah. []
Selamat datang mahasiswa baru! ---M. Rasyid Ridha Saragih, Editor Komunitas Payung

0 komentar:

Posting Komentar