Para pembaca budiman, seperti sudah menjadi semacam sunnatullah
jikalau di akhir tahun (masehi), kita selalu disuguhkan oleh pelbagai
perbincangan yang ‘isinya itu itu aja’: dimulai dari seputar halal-haram
mengucapkan selamat terhadap perayaan hari Natal 25 Desember, resolusi
kepemerintahan Negara Indonesia di akhir tahun, hingga persoalan halal-haram
merayakan tahun baru beserta liputan mengenai euforia acara tersebut. Namun demi
penghematan tulisan, penulis lebih menitik beratkan titik pijak keberangkatan
tulisan ini pada persoalan pertama dan ketiga. Bilamana argumen para pendukung penghalalan ucapan perayaan Natal
adalah demi merayakan perbedaan, berbeda dengan argumen pendukung pengharaman
ucapan Natal 25 Desember yang menyatakan bahwa mengucapkan selamat berarti sama
dengan ikut merayakan dan meyakini bahwa Nabi Isa As lahir pada tanggal
tersebut. Juga dengan soal halal-haram merayakan tahun baru, para pendukung
halalnya tahun berargumen bahwa tahun baru bukan persoalan aqidah dan syariat,
yang dari sana persoalan halal-haram tidaklah ada.
Sedang dari perspektif pendukung haramnya tahun baru, berargumen
bahwa perayaan tahun baru merupakan bentuk peniruan tradisi orang-orang
‘kafir’, yang karenanya bila meniru ‘orang kafir’, sama dengan termasuk kaum
kafir tersebut. Penulis melihat, perbincangan yang selalu berulang-ulang tiap
tahun seperti ini tidak akan pernah habisnya. Dua jurang yang saling
bersebrangan seolah-olah memang sepenuhnya ditakdirkan tidak akan pernah
bertemu. Dan sialnya, dalam kondisi seperti inilah justru adanya yang
terlupakan, bahwa ada persoalan yang sangat kongkrit dan sangat hegemonik yang
menghantui terus menerus pada kisaran waktu akhir tahun: yaitu bagaimana
kekuatan pasar justru memainkan peran cerdiknya disini.
Dalam konteks Natal (yang
juga menghampiri perayaan keagamaan Agama-agama lainnya), kita menjumpai
semacam komersialisasi dan komodifikasi perangkat simbolik keagamaan: mulai
dari atribut pakaian, bacaan religius, musik religius, dan lain-lainnya yang
diberi embel-embel religius. Diskon besar-besaran (yang biasanya barang diskon
tersebut sudah dinaikkan terlebih dahulu harganya, atau barang tersebut
merupakan bagian dari cuci gudang) dalam rangka menyambut hari raya keagamaan
pun digalakkan dimana-mana.
Akibat pergeseran akses religiusitas, yang bermula dari rasa yang
abstrak melalui ritus-ritus seperti shalat, do’a, dll. menuju akses
kenikmatan-sensasi komoditas berbau religius, maka disinilah adanya pergeseran
seseorang dalam mengenali ‘Tuhannya’. Akibatnya, Tuhan yang awalnya adalah
Abstrak, menjadi sedemikian kongkrit lewat mekanisme konsumsi. Namun ujungnya
adalah, bahwa Tuhan itu sendiri termanifestasikan pada benda yang bernama Uang.
Dari sinilah agama yang memiliki dimensi subyektif dan sensasi yang agak
irrasional (seperti pesoalan batiniyah, dll.) naasnya dijadikan kendaraan oleh
Pasar untuk melanggengkan hegemoninya. Akibatnya, Agama beserta perangkat
simboliknya justru menjadi semacam komoditi yang murahan, yang dapat dibeli
–tentu bagi yang punya uang-. Budaya instan seperti ini semakin sialnya
merambat kepada aspek lainnya yang padahal memiliki pijakan emansipatoris:
yaitu persoalan amal sosial. Misalnya persoalan kedermaan shadaqah.
Dalam konteks yang sangat umum, sesungguhnya fenomena instan dalam
soal derma-shadaqah menyembunyikan ekses atas hasrat narsistik-egois, yang
dalam hal ini melahirkan dimensi hipokrit yang jelas: bahwa persoalan shodaqoh
dilihat hanya sebagai media untuk melepaskan hasrat kasihan secara mudah, dan
dalam shodaqoh seringkali orang-orang yang terhinggap budaya instan ini tidak
bisa –atau barangkali malas- untuk melek melalui paradigma pikir yang besar,
yang dimana ia tidak pernah mau secara militan dan kompleks untuk melihat
persoalan mendasar terhadap kondisi-kondisi materiil ‘mengapa si orang yang
dishodaqohi-nya itu bisa termiskinkan’. Akibatnya, shodaqoh atas nama ‘kasihan’
pada akhirnya tak benar-benar bisa menolong si miskin, yang karenanya bahkan si
miskin malah menjadi ketagihan untuk menjadi si miskin yang meminta-minta terus
menerus.
Dari satu contoh diatas, kita bisa melihat bahwa budaya instan
yang menghinggapi cara pikir dalam mengamalkan ajaran keagamaan bisa jadi
mengacaukan hal yang paling subtansial dari ajaran keagamaan itu sendiri. Dan
penulis melihat, bahwa rekonseptualisasi atas Teologi Al-Ma’un yang sudah
dicanangkan oleh KH. Ahmad Dahlan berupaya keluar dari paradigma pikir yang
instan seperti itu. Dalam Teologi Al-Ma’un, bahwa pembangunan persoalan
sosio-ekonomi harus dilihat dari persoalan sistemik dan subtansial: bagaimana
menciptakan kondisi ekonomi setara melalui pengadaan lapangan kerja,
peningkatan kualitas pendidikan bagi yang tidak mampu, dll. Melalui fondasi
mendasar inilah, pembangunan sosio-ekonomi di masyarakat dapat berjalan secara
efektif dan ampuh. Dan disinilah harus dilihat kiranya, jika fenomena akhir
tahun harus dilihat sebagai fenomena ekonomi yang hedonistik dan glamour, maka
harus ada pembalikan atasnya, yakni dengan menonjokkan kritik sistemik terhadap
kepentingan ekonomi-politik yang berdiri di belakang fenomena tersebut: bahwa
ada selalu yang tertindas dibalik kemewahan sebuah fenomena, layaknya ribuan
buruh yang terhisap dibalik megahnya bangunan Menara Abraj di Dubai. Segala
argumentasi yang berpijak atas nama perayaan perbedaan, toleransi, dll. harus
kembali ditengok secara kritis, karena atas nama perayaan perbedaan, selalu
saja ditumpangi oleh kendaraan yang bernama kekuatan despotik bernama
Pasar/Kapitalisme. []
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih
0 komentar:
Posting Komentar