Selasa, 04 Oktober 2016

Apa Yang Kita Lihat di Akhir Tahun: Dari Perbincangan Natal Hingga Tahun Baru


Para pembaca budiman, seperti sudah menjadi semacam sunnatullah jikalau di akhir tahun (masehi), kita selalu disuguhkan oleh pelbagai perbincangan yang ‘isinya itu itu aja’: dimulai dari seputar halal-haram mengucapkan selamat terhadap perayaan hari Natal 25 Desember, resolusi kepemerintahan Negara Indonesia di akhir tahun, hingga persoalan halal-haram merayakan tahun baru beserta liputan mengenai euforia acara tersebut. Namun demi penghematan tulisan, penulis lebih menitik beratkan titik pijak keberangkatan tulisan ini pada persoalan pertama dan ketiga. Bilamana argumen para pendukung penghalalan ucapan perayaan Natal adalah demi merayakan perbedaan, berbeda dengan argumen pendukung pengharaman ucapan Natal 25 Desember yang menyatakan bahwa mengucapkan selamat berarti sama dengan ikut merayakan dan meyakini bahwa Nabi Isa As lahir pada tanggal tersebut. Juga dengan soal halal-haram merayakan tahun baru, para pendukung halalnya tahun berargumen bahwa tahun baru bukan persoalan aqidah dan syariat, yang dari sana persoalan halal-haram tidaklah ada.
Sedang dari perspektif pendukung haramnya tahun baru, berargumen bahwa perayaan tahun baru merupakan bentuk peniruan tradisi orang-orang ‘kafir’, yang karenanya bila meniru ‘orang kafir’, sama dengan termasuk kaum kafir tersebut. Penulis melihat, perbincangan yang selalu berulang-ulang tiap tahun seperti ini tidak akan pernah habisnya. Dua jurang yang saling bersebrangan seolah-olah memang sepenuhnya ditakdirkan tidak akan pernah bertemu. Dan sialnya, dalam kondisi seperti inilah justru adanya yang terlupakan, bahwa ada persoalan yang sangat kongkrit dan sangat hegemonik yang menghantui terus menerus pada kisaran waktu akhir tahun: yaitu bagaimana kekuatan pasar justru memainkan peran cerdiknya disini. 
 Dalam konteks Natal (yang juga menghampiri perayaan keagamaan Agama-agama lainnya), kita menjumpai semacam komersialisasi dan komodifikasi perangkat simbolik keagamaan: mulai dari atribut pakaian, bacaan religius, musik religius, dan lain-lainnya yang diberi embel-embel religius. Diskon besar-besaran (yang biasanya barang diskon tersebut sudah dinaikkan terlebih dahulu harganya, atau barang tersebut merupakan bagian dari cuci gudang) dalam rangka menyambut hari raya keagamaan pun digalakkan dimana-mana.
Akibat pergeseran akses religiusitas, yang bermula dari rasa yang abstrak melalui ritus-ritus seperti shalat, do’a, dll. menuju akses kenikmatan-sensasi komoditas berbau religius, maka disinilah adanya pergeseran seseorang dalam mengenali ‘Tuhannya’. Akibatnya, Tuhan yang awalnya adalah Abstrak, menjadi sedemikian kongkrit lewat mekanisme konsumsi. Namun ujungnya adalah, bahwa Tuhan itu sendiri termanifestasikan pada benda yang bernama Uang. Dari sinilah agama yang memiliki dimensi subyektif dan sensasi yang agak irrasional (seperti pesoalan batiniyah, dll.) naasnya dijadikan kendaraan oleh Pasar untuk melanggengkan hegemoninya. Akibatnya, Agama beserta perangkat simboliknya justru menjadi semacam komoditi yang murahan, yang dapat dibeli –tentu bagi yang punya uang-. Budaya instan seperti ini semakin sialnya merambat kepada aspek lainnya yang padahal memiliki pijakan emansipatoris: yaitu persoalan amal sosial. Misalnya persoalan kedermaan shadaqah.
Dalam konteks yang sangat umum, sesungguhnya fenomena instan dalam soal derma-shadaqah menyembunyikan ekses atas hasrat narsistik-egois, yang dalam hal ini melahirkan dimensi hipokrit yang jelas: bahwa persoalan shodaqoh dilihat hanya sebagai media untuk melepaskan hasrat kasihan secara mudah, dan dalam shodaqoh seringkali orang-orang yang terhinggap budaya instan ini tidak bisa –atau barangkali malas- untuk melek melalui paradigma pikir yang besar, yang dimana ia tidak pernah mau secara militan dan kompleks untuk melihat persoalan mendasar terhadap kondisi-kondisi materiil ‘mengapa si orang yang dishodaqohi-nya itu bisa termiskinkan’. Akibatnya, shodaqoh atas nama ‘kasihan’ pada akhirnya tak benar-benar bisa menolong si miskin, yang karenanya bahkan si miskin malah menjadi ketagihan untuk menjadi si miskin yang meminta-minta terus menerus.
Dari satu contoh diatas, kita bisa melihat bahwa budaya instan yang menghinggapi cara pikir dalam mengamalkan ajaran keagamaan bisa jadi mengacaukan hal yang paling subtansial dari ajaran keagamaan itu sendiri. Dan penulis melihat, bahwa rekonseptualisasi atas Teologi Al-Ma’un yang sudah dicanangkan oleh KH. Ahmad Dahlan berupaya keluar dari paradigma pikir yang instan seperti itu. Dalam Teologi Al-Ma’un, bahwa pembangunan persoalan sosio-ekonomi harus dilihat dari persoalan sistemik dan subtansial: bagaimana menciptakan kondisi ekonomi setara melalui pengadaan lapangan kerja, peningkatan kualitas pendidikan bagi yang tidak mampu, dll. Melalui fondasi mendasar inilah, pembangunan sosio-ekonomi di masyarakat dapat berjalan secara efektif dan ampuh. Dan disinilah harus dilihat kiranya, jika fenomena akhir tahun harus dilihat sebagai fenomena ekonomi yang hedonistik dan glamour, maka harus ada pembalikan atasnya, yakni dengan menonjokkan kritik sistemik terhadap kepentingan ekonomi-politik yang berdiri di belakang fenomena tersebut: bahwa ada selalu yang tertindas dibalik kemewahan sebuah fenomena, layaknya ribuan buruh yang terhisap dibalik megahnya bangunan Menara Abraj di Dubai. Segala argumentasi yang berpijak atas nama perayaan perbedaan, toleransi, dll. harus kembali ditengok secara kritis, karena atas nama perayaan perbedaan, selalu saja ditumpangi oleh kendaraan yang bernama kekuatan despotik bernama Pasar/Kapitalisme. []
Oleh: M. Rasyid Ridha Saragih

0 komentar:

Posting Komentar