Kamis, 04 Oktober 2018

POLITIK IDENTITAS, MASYARAKAT SIPIL, DAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA PASCA REFORMASI

Hasil gambar untuk politik
Sumber gambar : https://geotimes.co.id/opini/permainan-politik-bocah/

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam politik kerap kali menggunakan identitas  sebagai mesin yang menyatukan kekuatan yang mana tujuan utamanya jelas untuk memenangkan dominansi kekuatan dalam negeri. Dalam kapabilitas keilmuan saya, memang inilah kenyataan yang terjadi dalam demokrasi kita sejak awal munculnya partai politik. Kita bisa lihat mulai dari De Indische Partij sebagai partai politik pertama hingga Partai Berkarya sebagai partai politik yang terakhir didirikan, semua nya menggunakan identitas sebagaimana seperti yang saya utarakan tadi.
Pada kali ini, saya tidak ingin membicarakan mengenai politik identitas dalam partai politik pasca reformasi sendirian, melainkan dengan menghubungkan apa kaitannya dalam konteks masyarakat sipil. Dari yang saya ketahui terdapat cukup kesamaan antara definisi masyarakat sipil dengan partai politik.
Meminjam definisi dari Larry Diamod, masyarakat sipil diartikan sebagai lingkup kehidupan sosial yang terbuka, sukarela, otonom, lahir secara mandiri, berswadaya secara parsial, dan terkait pada tatanan legal atau nilai bersama. Saya melihat ini hampir mirip dengan defisi partai politik yang mana dalam pasal 1 ayat 1 UU no. 2 tahun 2008 dijelaskan sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Seperti yang kita ketahui bahwa reformasi adalah momentum terbuka ‘kran’ kebebasan bagi semua elemen untuk berekspresi, terutama dalam hal politik, dan dari sinilah masa awal banyaknya partai politik lahir. Dari pengamatan saya, terdapat beberapa partai politik yang berangkat dari semangat masyarakat sipil dalam bentuk ormas, diantara nya yang saya taruhkan perhatian yakni NU yang melahirkan PKB dan Muhammadiyah yang melahirkan PAN. Saya menilai ini cukup jelas kiranya, selain membawa misi politik, partai politik tersebut juga menggunakan identitas dari ormas terkait sebagai alat yang dapat mendongkrak popularitas dan elektabilitas partai.
Identitas Apa yang dipolitisasi?
Saya melihat hampir semua nilai-nilai dari ormas terkait yang menjadi identitasnya diadopsi secara manyeluruh oleh partai politik. Dapat kita lihat mulai dari tokoh, lambang, simbol, warna, dan lain sebagainya. Jadi dari sini mungkin masyarakat bakal bicara “wah ini lambang bumi bertali, gua banget!” atau contoh lainnya yang, sekali lagi, dapat mendongkrak popularitas dan elektabilitas partai.
Dalam hal ini saya mempunyai dua pendapat khusus. Pertama, PAN lahir  memang diinisiatori oleh tokoh Muhammadiyah, tetapi antara ormas dan parpol ini memaksakan diri untuk berjuang secara terpisah. Kita bisa lihat jika saat Amien Rais akan melenggangkan diri ke percaturan politik, pada saat itu juga ia melepaskan jabatannya sebagai ketua umum ormas. Selain itu partai ini mengatasnamakan diri sebagai partai nasionalis yang tidak berbasis agama maupun ormas, dan Muhammadiyah pun mengatakan bahwa “khittah”nya dalam bergerak adalah bebas dari kepentingan politik manapun. Jadi meski dari embrio ormas, PAN tidak mengiyakan bahwa dirinya memiliki kaitan secara lembaga dengan Muhammadiyah.
Kedua, berbeda dengan poin pertama, NU dan PKB mengatakan sebaliknya, yakni secara terus terang antara ormas dan parpol ini memang memiliki kaitan erat. Terlebih lagi hubungan ini juga diwujudkan dalam visi, misi, ideologi, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga PKB yang bernafaskan NU itu sendiri. Sehingga NU cenderung bermain dua kaki, yakni sebagai ormas juga partai politik.
Melihat dua poin yang saya bawakan tadi, saya katakan memang ada sebuah perbedaan hubungan antara partai politik dan ormas masing-masing, tapi intinya sama. Saya katakan bahwa baik hubungannya terlepas atau terikat tetap sama saja bahwa identitas akan selalu melekat sebagai ciri-ciri yang khas. Meskipun PAN dan Muhammadiyah tidak dalam satu ikatan yang diwujudkan secara langsung, tatapi identitas yang sama akan tetap melekat. Gampangnya gini, PAN menggunakan Surya sebagai lambangnya dan Muhammadiyah juga demikian, keduanya punya pandangan yang sama. Artinya politisasi identitas yang digunakan tidak secara langsung melainkan pasif, pun tidak jauh beda contoh lainnya seperti Amien Rais yang menjadi identitas kedua lembaga ini.
Jadi bisa saya simpulkan bahwa kehadiran masyarakat sipil dalam bentuk ormas yang membawa visi dan misi ke panggung politik pasca reformasi selalu menggunakan identitas sebagai alat politik untuk mendapat dukungan dari masyarakat sipil yang terikat dengan modal sosial pada suatu organisasi masyarakat, khususnya NU dan Muhammadiyah.
Adapun penilaian saya mengenai hubungan seperti ini memang harus dipisahkan, antara ormas atau LSM yang notabene nya sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) dengan partai politik. Hal ini dikarenakan kepentingan dari partai politik bisa mematikan serta merecoki nilai-nilai yang ada dalam ormas atau LSM terkait.
Melalui literatur yang sudah saya baca, saya melihat memang tidak sedikit oknum yang menggunakan ormas atau LSM sebagai batu loncatan untuk mendapatkan jabatan politik. Memang literatur yang saya baca lebih condong kepada hubungan Muhammadiyah dengan PAN, tetapi logikanya adalah hubungan antara Muhammadiyah dengan PAN saja yang secara paksa memisahkan dirinya pun masih bisa diselundupi oleh oknum untuk kepentingan politis, apalagi dengan yang terjadi dalam NU dan PKB yang secara jorjoran mengatakan bahwa dirinya saling terkait satu sama lain.
Untuk yang terakhir saya ingin menarik kembali dari penjelasan diatas dapat dimengerti mengapa para ilmuan dominan melihat masyarakat sipil sebagai sesuatu yang harus dipisahkan dengan kepentingan negara. Sepakat dengan pemikiran Tocquiville, saya berpendapat bahwa masyarakat sipil baik dalam bentuk ormas, LSM atau yang lainnya untuk tetap mempertahankan orisinalitas nilai-nilai nya ada melalui apapun pergerakannnya tanpa ada pengaruh kepentingan politik manapun, yang mana seperti yang saya sudah jelaskan tadi hal ini bisa merusak nilai-nilai yang ada.
Oleh: M. Ragil Yoga Priyangga

0 komentar:

Posting Komentar