Sumber gambar : https://geotimes.co.id/opini/permainan-politik-bocah/
Tidak bisa
dipungkiri bahwa dalam politik kerap kali menggunakan identitas sebagai mesin yang menyatukan kekuatan yang
mana tujuan utamanya jelas untuk memenangkan dominansi kekuatan dalam negeri. Dalam
kapabilitas keilmuan saya, memang inilah kenyataan yang terjadi dalam demokrasi
kita sejak awal munculnya partai politik. Kita bisa lihat mulai dari De Indische Partij sebagai partai politik
pertama hingga Partai Berkarya
sebagai partai politik yang terakhir didirikan, semua nya menggunakan identitas
sebagaimana seperti yang saya utarakan tadi.
Pada kali ini,
saya tidak ingin membicarakan mengenai politik identitas dalam partai politik
pasca reformasi sendirian, melainkan dengan menghubungkan apa kaitannya dalam
konteks masyarakat sipil. Dari yang saya ketahui terdapat cukup kesamaan antara
definisi masyarakat sipil dengan partai politik.
Meminjam definisi
dari Larry Diamod, masyarakat sipil diartikan sebagai lingkup kehidupan sosial
yang terbuka, sukarela, otonom, lahir secara mandiri, berswadaya secara
parsial, dan terkait pada tatanan legal atau nilai bersama. Saya melihat ini
hampir mirip dengan defisi partai politik yang mana dalam pasal 1 ayat 1 UU no.
2 tahun 2008 dijelaskan sebagai organisasi yang bersifat nasional dan
dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Seperti yang kita ketahui
bahwa reformasi adalah momentum terbuka ‘kran’ kebebasan bagi semua elemen
untuk berekspresi, terutama dalam hal politik, dan dari sinilah masa awal
banyaknya partai politik lahir. Dari pengamatan saya, terdapat beberapa partai
politik yang berangkat dari semangat masyarakat sipil dalam bentuk ormas,
diantara nya yang saya taruhkan perhatian yakni NU yang melahirkan PKB dan
Muhammadiyah yang melahirkan PAN. Saya menilai ini cukup jelas kiranya, selain
membawa misi politik, partai politik tersebut juga menggunakan identitas dari
ormas terkait sebagai alat yang dapat mendongkrak popularitas dan elektabilitas
partai.
Identitas
Apa yang dipolitisasi?
Saya melihat hampir semua
nilai-nilai dari ormas terkait yang menjadi identitasnya diadopsi secara
manyeluruh oleh partai politik. Dapat kita lihat mulai dari tokoh, lambang,
simbol, warna, dan lain sebagainya. Jadi dari sini mungkin masyarakat bakal
bicara “wah ini lambang bumi bertali, gua banget!” atau contoh lainnya yang,
sekali lagi, dapat mendongkrak popularitas dan elektabilitas partai.
Dalam hal ini saya
mempunyai dua pendapat khusus. Pertama,
PAN lahir memang diinisiatori oleh tokoh
Muhammadiyah, tetapi antara ormas dan parpol ini memaksakan diri untuk berjuang
secara terpisah. Kita bisa lihat jika saat Amien Rais akan melenggangkan diri
ke percaturan politik, pada saat itu juga ia melepaskan jabatannya sebagai
ketua umum ormas. Selain itu partai ini mengatasnamakan diri sebagai partai
nasionalis yang tidak berbasis agama maupun ormas, dan Muhammadiyah pun
mengatakan bahwa “khittah”nya dalam bergerak adalah bebas dari kepentingan
politik manapun. Jadi meski dari embrio ormas, PAN tidak mengiyakan bahwa
dirinya memiliki kaitan secara lembaga dengan Muhammadiyah.
Kedua, berbeda dengan poin pertama, NU dan PKB
mengatakan sebaliknya, yakni secara terus terang antara ormas dan parpol ini
memang memiliki kaitan erat. Terlebih lagi hubungan ini juga diwujudkan dalam
visi, misi, ideologi, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga PKB yang bernafaskan
NU itu sendiri. Sehingga NU cenderung bermain dua kaki, yakni sebagai ormas
juga partai politik.
Melihat dua poin yang
saya bawakan tadi, saya katakan memang ada sebuah perbedaan hubungan antara
partai politik dan ormas masing-masing, tapi intinya sama. Saya katakan bahwa
baik hubungannya terlepas atau terikat tetap sama saja bahwa identitas akan
selalu melekat sebagai ciri-ciri yang khas. Meskipun PAN dan Muhammadiyah tidak
dalam satu ikatan yang diwujudkan secara langsung, tatapi identitas yang sama
akan tetap melekat. Gampangnya gini, PAN menggunakan Surya sebagai lambangnya
dan Muhammadiyah juga demikian, keduanya punya pandangan yang sama. Artinya
politisasi identitas yang digunakan tidak secara langsung melainkan pasif, pun
tidak jauh beda contoh lainnya seperti Amien Rais yang menjadi identitas kedua
lembaga ini.
Jadi bisa saya simpulkan bahwa kehadiran masyarakat sipil
dalam bentuk ormas yang membawa visi dan misi ke panggung politik pasca
reformasi selalu menggunakan identitas sebagai alat politik untuk mendapat
dukungan dari masyarakat sipil yang terikat dengan modal sosial pada suatu
organisasi masyarakat, khususnya NU dan Muhammadiyah.
Adapun penilaian saya mengenai hubungan seperti ini memang
harus dipisahkan, antara ormas atau LSM yang notabene nya sebagai bagian dari
masyarakat sipil (civil society)
dengan partai politik. Hal ini dikarenakan kepentingan dari partai politik bisa
mematikan serta merecoki nilai-nilai yang ada dalam ormas atau LSM terkait.
Melalui literatur yang sudah saya baca, saya melihat memang
tidak sedikit oknum yang menggunakan ormas atau LSM sebagai batu loncatan untuk
mendapatkan jabatan politik. Memang literatur yang saya baca lebih condong
kepada hubungan Muhammadiyah dengan PAN, tetapi logikanya adalah hubungan
antara Muhammadiyah dengan PAN saja yang secara paksa memisahkan dirinya pun
masih bisa diselundupi oleh oknum untuk kepentingan politis, apalagi dengan
yang terjadi dalam NU dan PKB yang secara jorjoran mengatakan bahwa dirinya
saling terkait satu sama lain.
Untuk yang terakhir saya ingin menarik kembali dari
penjelasan diatas dapat dimengerti mengapa para ilmuan dominan melihat
masyarakat sipil sebagai sesuatu yang harus dipisahkan dengan kepentingan
negara. Sepakat dengan pemikiran Tocquiville, saya berpendapat bahwa masyarakat
sipil baik dalam bentuk ormas, LSM atau yang lainnya untuk tetap mempertahankan
orisinalitas nilai-nilai nya ada melalui apapun pergerakannnya tanpa ada
pengaruh kepentingan politik manapun, yang mana seperti yang saya sudah
jelaskan tadi hal ini bisa merusak nilai-nilai yang ada.
Oleh: M. Ragil Yoga Priyangga
0 komentar:
Posting Komentar