Jumat, 14 Oktober 2016

Sekolah Politik PK Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ibnu Sina-Undip



Sejarah adalah selalu mengandaikan yang berbahasa. Inilah yang di kemudian hari banyak orang memahaminya. Misalnya tonggak lahirnya peradaban dunia, masyarakat akan merujuknya pada peradaban Mesir yang di zaman dahulu kala menghasilkan banyak hirogliph maupun peradaban Babilonia yang menghasilkan codex hammurabbi. Dengan begitu, apa yang dipelajari masyarakat saat ini mengenai sejarah sudahlah selalu berkelindan dengan teks kebahasaan. Begitu pun peristiwa-peristiwa sejarah besar yang terjadi di dunia ini, ia selalu ditulis oleh seseorang –maupun gerombolan orang-, yang orang tersebut berada dalam konteks-konteks tertentu –ntah itu konteks lingkungan sosialnya, maupun psikisnya-. Dengan begitu, sejarah sekalipun di satu sisi melibatkan komunitas-komunitas tertentu dalam momen kejadiannya, namun di satu sisi yang lain ketika dituliskan ia sudah selalu ditulis oleh orang tertentu yang memiliki kepentingan tertentu atas teks sejarah dan belum tentu menggambarkan sejarah seutuhnya.
Inilah yang kemudian kita lihat dalam konteks tragedi nasional 1965. Sebagai salah satu peristiwa besar di Indonesia yang masih simpang siur mengenai kejelasan situasinya, tragedi nasional 1965 merupakan salah satu tragedi yang memilukan dan menaruhkan beban pada generasi muda Indonesia saat ini melalui pertanyaan: Sesungguhnya apakah kita warga negara dan manusia? Pada peristiwa besar ini, diperkirakan terjadi pembantaian ratusan ribu orang atas nama “usaha melakukan hal subversif terhadap negara” yang disematkan pada orang-orang yang dianggap PKI. Semua hal yang berbau dengan PKI: ntah itu lambang, bendera, literatur-dokumen, hingga kader-kadernya dihabisi total oleh para aparatur Negara yang pada saat itu mengendalikan atmosfer kekuasaan. Bahkan pengakuan Sarwo Edhie Wibowo selaku mantan RPKAD –yang saat ini menjadi Koppassus- menyebutkan bahwa dalam tragedi nasional itu, ialah penggerak pembantaian sistemik dengan menghasilkan sekitar tiga juta korban yang meninggal. Dan melalui tragedi nasional 1965 inilah di kemudian membuka keran menuju tragedi-tragedi selanjutnya. Dimulai dari matinya kebebasan dan demokrasi berpendapat-berekspresi, represifitas aparatus Negara terhadap warga sipil yang banyak menyebabkan pelanggaran HAM, hingga permasalahan penyakit Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Di kemudian hari, hal-hal seperti ini menjadi pelengkap bagi lahirnya krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1998 dan menyebabkan Soeharto mengundurkan dirinya dari posisi Kepala Negara-Kepala Pemerintah. Namun hingga sejauh ini, belum terlihat ada upaya serius dari pihak Pemerintah Pusat maupun Aparatur Negara di Pusat lainnya yang hendak merehabilitasi masyarakat yang terkena imbas dari tragedi nasional 1965 tersebut. Upaya-upaya rehabilitasi yang terlihat hingga saat ini, masih diinisiasi secara kultural oleh para pegiat-pegiat kemanusiaan di daerah. Inilah yang kemudian hari masyarakat banyak menilai bahwa Pemerintah Pusat belum memiliki semangat serius dalam upaya penegakkan Hak Asasi Manusia. Bilamana ada upaya keseriusan dari Pemerintah Pusat terkait pengupayaan Hak Asasi Manusia bagi pihak-pihak yang terlibat tragedi-tragedi sebelum reformasi, maka ini adalah kabar yang segar bagi masyarakat, karena keseriusan atau tidak Pemerintah Pusat bisa menjadi tolak ukur sejauh mana ia hadir demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
Melalui patokan narasi ini, kami selaku Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Universitas Diponegoro berupaya mengadakan “Sekolah Politik” dengan concern pengkajian terhadap diskursus politik sejarah dalam konteks kejadian 1965 hingga sesudahnya. Diskursus ini diharapkan dapat memberikan gambaran awal terkait kejadian 1965 hingga sesudahnya, sehingga ia bisa menjadi titik awal demi langkah selanjutnya dalam mengupayakan rekonsiliasi baik itu secara kultural maupun struktural dalam dunia Hak Asasi Manusia di Indonesia. “Sekolah Politik” ini bertujuan untuk membuka ruang diskursif terkait wacana politik sejarah dalam kontestasi politik di era Orde Baru. Dengan pijakan teoritik seperti ini, diharapkan dari “Sekolah Politik” ini bisa memberikan nafas awal demi langkah selanjutnya pada dunia aktivisme dan pergerakan dalam mengupayakan hak-hak sipil di masyarakat.
Model acara dalam Sekolah Politik IMM adalah dengan format Focus Group Discussion, dengan pembatasan peserta diskussan maksimal 30 orang. Diharapkan melalui format ini, alur diskursif bisa berjalan dengan lancar dan adanya titik temu komunikasi dua arah antara panelis dengan peserta diskussan. Dalam acara sekolah politik IMM ini, terdiri dari tiga panelis yang akan membicarakan beberapa materi terkait: a. Unu Herlambang, SH (Membicarakan Politik Hukum pasca ’65, serta relasi-kuasa ideologi Orde Baru di masyarakat dalam memandang kejadian ’65) b. Drs. A Tafsir M.Ag (Membicarakan konteks bagaimana hubungan Islam dengan PKI, Angkatan Darat, dan Pemerintah pada era 1960, dan hubungan Muhammadiyah pada era saat itu dengan berbagai elemen politik yang ada) c. Dr. Tedi Kholiludin, M.Si (Membicarakan hubungan Islam dengan para korban Tapol 1965 pasca 65, langkah rekonsiliasi dalam konteks permaafan Gus Dur, serta memaparkan respon masyarakat Islam saat ini dalam memandang orang-orang Tapol 65. Waktu dan Tempat Acara “Sekolah Politik” ini dilaksanakan pada, Waktu : Sabtu, 20 Juni 2015 (13.00 WIB-selesai) Tempat : Gedung Dakwah Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah-Pleburan Semarang, Lt. 3 Ruang Aula Serbaguna Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah. Fasilitas Keacaraan Peserta yang mengikuti acara “Sekolah Menulis” ini akan mendapatkan: 1. Materi Kepelatihan 2. Snack Tajil Buka Puasa 3. Makan Malam 4. Sertifikat

0 komentar:

Posting Komentar