Sejarah adalah selalu mengandaikan yang berbahasa. Inilah yang di
kemudian hari banyak orang memahaminya. Misalnya tonggak lahirnya peradaban
dunia, masyarakat akan merujuknya pada peradaban Mesir yang di zaman dahulu
kala menghasilkan banyak hirogliph maupun peradaban Babilonia yang menghasilkan
codex hammurabbi. Dengan begitu, apa yang dipelajari masyarakat saat ini
mengenai sejarah sudahlah selalu berkelindan dengan teks kebahasaan. Begitu pun
peristiwa-peristiwa sejarah besar yang terjadi di dunia ini, ia selalu ditulis
oleh seseorang –maupun gerombolan orang-, yang orang tersebut berada dalam
konteks-konteks tertentu –ntah itu konteks lingkungan sosialnya, maupun
psikisnya-. Dengan begitu, sejarah sekalipun di satu sisi melibatkan
komunitas-komunitas tertentu dalam momen kejadiannya, namun di satu sisi yang
lain ketika dituliskan ia sudah selalu ditulis oleh orang tertentu yang
memiliki kepentingan tertentu atas teks sejarah dan belum tentu menggambarkan
sejarah seutuhnya.
Inilah yang kemudian kita lihat dalam konteks tragedi nasional
1965. Sebagai salah satu peristiwa besar di Indonesia yang masih simpang siur
mengenai kejelasan situasinya, tragedi nasional 1965 merupakan salah satu
tragedi yang memilukan dan menaruhkan beban pada generasi muda Indonesia saat
ini melalui pertanyaan: Sesungguhnya apakah kita warga negara dan manusia? Pada
peristiwa besar ini, diperkirakan terjadi pembantaian ratusan ribu orang atas
nama “usaha melakukan hal subversif terhadap negara” yang disematkan pada
orang-orang yang dianggap PKI. Semua hal yang berbau dengan PKI: ntah itu lambang,
bendera, literatur-dokumen, hingga kader-kadernya dihabisi total oleh para
aparatur Negara yang pada saat itu mengendalikan atmosfer kekuasaan. Bahkan
pengakuan Sarwo Edhie Wibowo selaku mantan RPKAD –yang saat ini menjadi
Koppassus- menyebutkan bahwa dalam tragedi nasional itu, ialah penggerak
pembantaian sistemik dengan menghasilkan sekitar tiga juta korban yang
meninggal. Dan melalui tragedi nasional 1965 inilah di kemudian membuka keran
menuju tragedi-tragedi selanjutnya. Dimulai dari matinya kebebasan dan
demokrasi berpendapat-berekspresi, represifitas aparatus Negara terhadap warga
sipil yang banyak menyebabkan pelanggaran HAM, hingga permasalahan penyakit
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Di kemudian hari, hal-hal seperti ini menjadi
pelengkap bagi lahirnya krisis multidimensi yang terjadi pada tahun 1998 dan
menyebabkan Soeharto mengundurkan dirinya dari posisi Kepala Negara-Kepala
Pemerintah. Namun hingga sejauh ini, belum terlihat ada upaya serius dari pihak
Pemerintah Pusat maupun Aparatur Negara di Pusat lainnya yang hendak
merehabilitasi masyarakat yang terkena imbas dari tragedi nasional 1965
tersebut. Upaya-upaya rehabilitasi yang terlihat hingga saat ini, masih
diinisiasi secara kultural oleh para pegiat-pegiat kemanusiaan di daerah. Inilah
yang kemudian hari masyarakat banyak menilai bahwa Pemerintah Pusat belum
memiliki semangat serius dalam upaya penegakkan Hak Asasi Manusia. Bilamana ada
upaya keseriusan dari Pemerintah Pusat terkait pengupayaan Hak Asasi Manusia
bagi pihak-pihak yang terlibat tragedi-tragedi sebelum reformasi, maka ini
adalah kabar yang segar bagi masyarakat, karena keseriusan atau tidak
Pemerintah Pusat bisa menjadi tolak ukur sejauh mana ia hadir demi memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Melalui patokan narasi ini, kami selaku Pimpinan Komisariat Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Universitas Diponegoro berupaya mengadakan
“Sekolah Politik” dengan concern pengkajian terhadap diskursus politik sejarah
dalam konteks kejadian 1965 hingga sesudahnya. Diskursus ini diharapkan dapat
memberikan gambaran awal terkait kejadian 1965 hingga sesudahnya, sehingga ia
bisa menjadi titik awal demi langkah selanjutnya dalam mengupayakan
rekonsiliasi baik itu secara kultural maupun struktural dalam dunia Hak Asasi
Manusia di Indonesia. “Sekolah Politik” ini bertujuan untuk membuka ruang
diskursif terkait wacana politik sejarah dalam kontestasi politik di era Orde
Baru. Dengan pijakan teoritik seperti ini, diharapkan dari “Sekolah Politik”
ini bisa memberikan nafas awal demi langkah selanjutnya pada dunia aktivisme
dan pergerakan dalam mengupayakan hak-hak sipil di masyarakat.
Model acara dalam Sekolah Politik IMM adalah dengan format Focus
Group Discussion, dengan pembatasan peserta diskussan maksimal 30 orang.
Diharapkan melalui format ini, alur diskursif bisa berjalan dengan lancar dan
adanya titik temu komunikasi dua arah antara panelis dengan peserta diskussan.
Dalam acara sekolah politik IMM ini, terdiri dari tiga panelis yang akan
membicarakan beberapa materi terkait: a. Unu Herlambang, SH (Membicarakan
Politik Hukum pasca ’65, serta relasi-kuasa ideologi Orde Baru di masyarakat
dalam memandang kejadian ’65) b. Drs. A Tafsir M.Ag (Membicarakan konteks
bagaimana hubungan Islam dengan PKI, Angkatan Darat, dan Pemerintah pada era
1960, dan hubungan Muhammadiyah pada era saat itu dengan berbagai elemen
politik yang ada) c. Dr. Tedi Kholiludin, M.Si (Membicarakan hubungan Islam
dengan para korban Tapol 1965 pasca 65, langkah rekonsiliasi dalam konteks
permaafan Gus Dur, serta memaparkan respon masyarakat Islam saat ini dalam
memandang orang-orang Tapol 65. Waktu dan Tempat Acara “Sekolah Politik” ini
dilaksanakan pada, Waktu : Sabtu, 20 Juni 2015 (13.00 WIB-selesai) Tempat :
Gedung Dakwah Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah-Pleburan
Semarang, Lt. 3 Ruang Aula Serbaguna Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah. Fasilitas
Keacaraan Peserta yang mengikuti acara “Sekolah Menulis” ini akan mendapatkan:
1. Materi Kepelatihan 2. Snack Tajil Buka Puasa 3. Makan Malam 4. Sertifikat
0 komentar:
Posting Komentar