Minggu, 19 Januari 2020

Kapitalisme itu Ya... Yahudi



Sumber gambar : http://nusantarakini.com/

Oleh M. Ragil Yoga Priyangga

Suatu hari ketika saya mengikuti pengajian, terlintas sebuah ucapan dari Pak Kyai mengenai kata “Yahudi”. Setidaknya kurang lebih Pak Kyai tersebut berkata “Bapak Ibu sekalian, betapa hari ini kita itu dijajah oleh orang-orang Yahudi, mereka lah yang membuat kekacauan di negeri ini. Melalui IT, mereka mengotak-atik pikiran kaum muda supaya menjadi tidak produktif…”

Sontak saya terkejut, betapa kuat kata tersebut terngiang dalam kepala para Jemaah. Saya punya keyakinan bahwa para Jemaah menerima kata tersebut sebagai suatu konstruksi “musuh” yang diterima secara popular, termasuk saya. Namun yang menjadikan saya lebih terkejut adalah ketika ‘nyletuk’ dalam pikiran saya yang menyadari bahwa kata tersebut sebenarnya dapat dijadikan sebagai alat bantu untuk memberikan suatu pemahaman kritis kepada khalayak umum, terutama kaum muslimin, yakni mengenai Kapitalisme.

Sejauh ini jika saya perhatikan memang penyadaran terhadap suatu penindasan yang disebabkan oleh sistem kapitalisme itu sulit dilakukan. Eksperimentasi sudah banyak dilakukan oleh temen-temen aktivis, namun mereka kerap kali terkendala dengan sedikitnya masa yang mampu mereka sadarkan. Sehingga penyadaran demi penyadaran tersebut sulit untuk dicapai. Kesadaran akan ketertindasan sistem ekonomi politik tersebut cenderung ‘adem-ayem’, dan peran agama juga kurang memberikan tempat untuk memahami ini.

Bagi saya, upaya penggunaan kata “Yahudi” cukup bisa menjadi alternatif untuk menyadarkan masyarakat kita. Hal tersebut juga memberikan peluang bagi agama untuk memiliki peran kembali dalam semangat pembebasan. Kaum muslimin tentu sepakat bahwa mereka adalah musuh, dan itu peluang bagi kita untuk masuk dan menjelaskan kebiadaban antek-antek kapitalisme.

Hal ini jelas bakal menjadi jurus jitu, dan Imam Khomeni sudah membuktikannya. Coba kalian baca buku-buku karya imam Ali Khomeini, disana akan ditemukan konstruksi sikap anti-amerika, anti-imperialisme, anti-kapitalisme, dan sikap anti-anti yang lain yang mana ketika kita baca akan berkobar semangat juangnya. Keampuhan tersebut terbukti dengan bangkitnya revolusi iran di tahun 1960. Sayangnya tradisi kritis tersebut kurang memiliki tempat di kalangan suni,

Gambaran mengenai revolusi iran menang sangat dirindukan oleh kita yang menginginkan kembalinya kedaulatan di tangan rakyat. Meski bakal ada bias mengenai generalisasi bangsa yahudi, namun bagi saya itu cukup bagus sebagai titik berangkat penyadaran kepada muslimin yang agak kaku atas suatu permasalahan.  Yahudi memang tidak dapat secara pasti dipandang sebelah mata, apalagi disebut sebagai pangkal kejahatan dimuka bumi, tetapi penjelasan seperti pembangunan itu berawal dari teori yang diciptakan Rostow dan itu yahudi, atau mungkin pasar bebas itu berawal dari teori laizess-fair nya Adam Smith dan itu yahudi, atau contoh-contoh serupa yang dapat dipahami secara populer.

Kembalinya semangat perjuangan untuk melawan ketertindasan yang demikian harus dilakukan dengan sekreatif mungkin, serta memperbanyak eksperimentasi. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa kapitalisme yang jelas “ke-jancuk-an”-nya tersebut semakin hari semakin kreatif. Jika kita tidak mempunyai sikap tandingan maka yang ada akan tergerus oleh sistem tersebut.

Penyeretan bangsa “Yahudi” dalam penyadaran masyarakat, juga untuk membangun kesenitivitasan akan fenomena. Agak rancu jika ada kebiadaban antek kapitalis yang ternyata non-yahudi, namun hal itu dapat diberi pengertian bahwa si kapitalis itu meski dia non yahudi tapi wataknya lah yang yahudi, atau pun sebaliknya untuk menangkal generalitas bangsa yahudi.

Hal serupa tentu dapat dilakukan oleh agama lain dalam melihat penindasan yang ada di hadapan mereka. Seperti yang dijelaskan Michael Lowy mengenai teologi pembebasan yang meng-capture pengalaman amerika latin dalam upaya menjadikan agama katolik sebagai api kekuatan yang membakar semangat juang rakyatnya melawan kebiadaban kapitalisme.

Walhasil yang demikian ini sangat enak untuk kita jelaskan pada khalayak umum, tentunya di negeri ini yang penduduknya beragama. Dan imaginasi berdaulat di tangan-kaki sendiri akan segera terwujud, entah lewat revolusi atau yang lain tinggal liat saja hari esok. Wallahualam.

Selasa, 02 April 2019

Epilog Ikatan Merah

Oleh : Sindy Milyana Khadaryati

Perkenankan tangan saya untuk menari di atas kertas membuat suatu coretan bersajak sebagai pengingat bagi saya sebelum sampai pada kalian


Terhitung dua puluh ribu tujuh puluh lima hari sudah,

usianya menginjak setengah abad
Napak tilas perjuangan suatu Gerakan Mahasiswa
menghampiri pelupuk mata
Mengemban ikhtiar dengan niat yang tlah diikrarkan
di bawah naungan sinar surya
Mengucur deras semangat Fastabiqul Khairat!
Ialah IMM
Dilanjutkan seruan kebanggaannya, Jaya!
Namun, pertanyaan sering berdialog menghantuinya
Bertanya-tanya sampai mana agama ini ditegakkan
Bertanya-tanya sampai mana titik kejayaan dirinya
Bertanya-tanya sampai kapan abadi perjuangannya terus dikenal
IMM butuh mereka yang berkontribusi dalam dakwah
bukan hanya berkeluh kesah
IMM butuh sumbangsih mereka yang intektual
bukan hanya teriakan tanpa moral
IMM butuh mereka yang terus berinovasi
bukan hanya menjadi wacana diskusi
Bagaimana mungkin membiarkannya biasa-biasa saja
Sedangkan dia menunggu karya-karya kita
Memang, melayani segala tawaran keinginan dan harapan jiwa
tidak akan ada habisnya
Apalagi menakar imbalan yang diterima
Sadar, bukankah dari sekian banyak manusia bergelar mahasiswa
bahawa kitalah yang dipilih sebagai pewaris amanah ?,
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Salam Jiwa, Salam Pergerakan ! IMM, Jaya!

Dia yang Berdiri di sana

Oleh : Nabila Nafi Atina'

Dia yang berdiri di sana dan melihat semuanya
Jalanan kian dipenuhi keambiguan fakta
Atmosfir suram hiasi sebuah prosa
Sarkasme kehidupan butakan logika
Menyebar ilusi benamkan intelektualitas jiwa
Egoisme prakarsa ciptakan era penuh derita
Ranah duka angankan secercah pelita
Alirkan doa dan harapan pada penyelamat bangsa
Hingga penantian berada di ujung nestapa

            Dia yang berdiri di sana dan melihat semuanya
Nestapa ini pun lambat laun tampak berbeda
Yang dielukan umat telah tiba pada waktunya
Alunan melodi menghantar pada sebuah impian nyata
Setetes air hujan refleksikan cahaya sang surya
Menepis rintihan-rintihan kelabu dunia
Gelorakan api semangat parubahan yang membara

            Dia yang berdiri di sana dan melihat semuanya
            Dia yang berdiri di sana lalu teguh dengan tekadnya
            Dia yang berdiri di sana dan bermandikan kematangan budinya
            Dia yang berdiri di sana dengan kesiapannya ciptakan revolusi bangsa
            Dia yang berdiri di sana dan kelak mengubah dunia
            Dialah pemuda bangsa
Dialah IMM kita